Jumat, 03 Mei 2013
SUNAT SEBAGAI TANDA PERJANJIAN
10.24
MPG
No comments
A. Pendahuluan
Sampai saat ini banyak dijumpai kebingungan di kalangan Kristen perihal
sunat (Circumcision). Di satu sisi, memang tidak ada fatwa atau petunjuk resmi
secara kelembagaan atau institusi Kristen boleh tidaknya sunat dilakukan bagi
orang Kristen. Ketiadaan fatwa dari institusi agama Kristen itu bukan berarti tidak
ada dasar alkitabnya, tetapi lebih banyak ditemuinya tafsir yang berbeda serta
pembenaran-pembenaran boleh tidaknya orang Kristen melakukan sunat,
pemotongan daging (kulup) di ujung penis laki-kali.
Bagi golongan fundamentalis Kristen yang memahami betul kebenaran
Perjanjian Baru (PB), khususnya teladan yang diberikan Rasul Paulus, sunat
maupun tidak sunat bukan hal yang terlalu penting. Apakah sunat kulup itu perlu
atau tidak. Sebab yang lebih penting adalah perlunya seorang sebagai ciptaan
baru. “Sebab bersunat atau tidak bersunat (maksudnya potong kulup di ujung
penis) tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru itu yang lebih penting dan
ada artinya (Gal 6:15).
Namun, bagi yang melaksanakan perintah Perjanjian Lama (PL), sunat bagi
orang yang sudah diselamatkan Allah merupakan keharusan karena suatu tanda
perjanjian dan ditetapkan oleh Allah. Bahkan jika tidak melakukan sunat, maka
akan mendapatkan hukuman (Kej 17:14; Kel 4:24, 26), tidak diperkenankan
melakukan pernikahan campuran dengan orang yang tidak bersunat (Kej 34:14;
Hak 14:3), dan tidak boleh bergaul dengan orang yang tidak bersunat (Kis 10:28;
11:3; Gal 2:112).
Artikel ini berusaha untuk meninjau sunat kulup, menurut perspektif historis
dan medis berdasarkan pandangan Alkitab. Harapan artikel ini dapat memberikan
cara pandang, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen perihal sunat. Apakah
sunat wajib hukumnya, tidak wajib, dapat dilakukan atau ditiadakan dengan
berbagai resiko sosial. Artinya, kepantasan melakukan sunat berdasarkan konteks
budaya, kesehatan, dan agama. 2
B. Sejarah Sunat
Menurut Perjanjian Lama (PL) sebagai informasi tertua, mengungkapkan
bahwa sunat sudah dilakukan oleh bangsa kuno, termasuk bangsa Israil. Bangsabangsa Afrika, Australia, Amerika, dan Astronesia pun melakukan hal yang sama,
telebih bangsa-bangsa di Timur Tengah, kecuali bangsa Asyur, Filistin, dan Babel
(Tes 9:25-26); Hak 14:3; 15:18; 1 Sam 14:6, 36, 2 Sam 1:20, dll).1
Dalam suatu suku bangsa tertentu juga dikenal sunat untuk wanita
(female genital mutilation)
2
. Bahkan WHO (World Health Organization)
memperkenalkan prosedur sunat untuk perempuan yang antara lain berupa
clitoridecmy: penghilangan sebagian atau seluruh klistoris, excisior: Penghilangan
sebagian atau seluruh klistoris dan labiominora, infibulation: penghilangan
sebagian atau seluruh bagian luar genital dengan menjahit sebagian saluran
kencing dan vagina dan unclissified : semua prosedur female genital mutilation
(FGM) lainnya yang bersifat membahayakan. Namun, bangsa Israil hanya
mengenal dan melakukan penyunatan laki-laki.
Setiap bangsa yang melaksanakan sunat memiliki makna yang berbeda-beda.
Bangsa Israil sunat dapat diketahui dari proses perkembangannya. Dalam
masyarakat Israil terdapat dua kata untuk makna sunat. Pertama, kata khatan yang
khusus digunakan dalam hubungannya dengan perkawinan (sunat sebelum
kawin). Kedua, kata mul atau malal yang dipakai dalam hubungannya dengan
sunat pada umumnya. Pada artikel ini akan dibicarakan jenis sunat yang kedua
karena dalam konteks di Indonesia sunat ini dilakukan hampir di semua etnis di
Indonesia.
Makna mul untuk pertama kali dimunculkan oleh Nabi Yeremia (Yer 4:4)
pada saat ia berbicara sunat hati. Hal itu berarti bahwa sunat tidak cukup atau
dipararelkan dengan sunat kulup tetapi harus sunat hati. Demikian pula dengan
sunat telinga (Yer 6:10). Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Yahweh
dan Israil, makna sunat bukan hanya semata-mata terletak pada sunat kulup tetapi
pada sunat hati dan sunat telinga.
1
Wismoyoadi, Wahono. S. Sunat dalam Akitab. Yogyakarta: Buletoin LPK No 97 GKI dan GKJ Jawa
Tengah, 1978. Hal 3.
2
Dyah, Putranti, Basicila, et all. Male and Female Genital Cutting Among Javanese and Madurese.
Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University and Australian
Nasional University. P. 1 3
Makna sunat kulup di kalangan orang Israil makin mendapat bentuk rohani
yang tegas ketika mereka berada di pembungan Babel, saat mereka bertemu
dengan orang-orang Babel yang tidak bersunat kulup pada abad 5 dan 6. Sunat
kulup ditetapkan sebagai tanda oreang-orang Israil yang mengikat perjanjian
dengan Yahwe.
Jika sunat kulup disebut sunat luar, dan sunat hati dan sunat telinga seperti
yang diajarkan Nabi Yeremia disebut sunat hati, sampai akhir zaman
pembuangan, kedua macam sunat tersebut masih terus merupakan pergumulan
hidup dan berlaku di tengah-tengah bangsa Israil.3
Gereja mula-mula mewarisi dua macam sunat tersebut. Yohanes Pembaptis
(Luk 1:59), Yesus (Luk 2:21) dan Paulus (Pil 3:5) mengalami sunat luar (sunat
kulup), demikian pula semua orang Yahudi Kristen (Kis 10:45; 11:2; Gal 2:12).
Di pihak lain, orang Kristen baru nonYahudi tidak melakukan sunat luar ini. Bagi
mereka, melakukan sunat dalam saja sudah cukup. Paulus termasuk yang
mempertahankan sunat dalam.
Dalam konteks kebudayaan Jawa, masyarakat sudah mempraktikkan sunat
sebelum masuknya pengaruh Islam Indonesia. Bahkan menurut penganut Kewajen
di Sleman Yogyakarta, sunat kemungkinan merupakan praktik
animisme/dinamisme yang sudah dilakukan masyarakat, jauh sebelum ada
kerajaan di Yogyakarta.
Sakemute bapak, sadurunge ana kraton, ana mesjid, ana greja, kuwi
wis ditindakake para sepuh Jawa (setahu saya, sebelum ada
keraton, masjid, dan gereja hal itu sudah dilakukan orang Jawa
zaman dulu)4
Ritual Sunat juga mengandung makna mistis untuk memurnikan diri
menghilangkan sukerto, yaitu hambatan, kotoran, atau kesialan manusia yang
dibawa sejak lahir.
Tetakan utawa tetesan iku sarana ngilangake sukerto, sebab para
sepuh Jawa iku kagungan keyakinan yen sukerto iku pembawaan
kodrat, soko rama ibu. Dadi tetakan utawa tetesan iku nduwe
panjangka supaya bocah bersih, suci, ora kesinungan sukerto (Sunat
itu adalah sarana menghilangkan sukerto, sebab orang Jawa zaman
3
Wahono, Wismoady S, Sunat di Dalam Alkitab. Yogyakarta: Buletin LPK GKJ dan GKI Jawa
Tengah. Hal 4.
4
Dyah Putranti, Basilica, et al. Male and Female Genital Cuting Among Javanese and Madurese.
Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University and Australian National
University, 2003. p. 9. 4
dahulu mempunyai keyakinan bahwa sukerto adalah pembawaan
dari ayah dan ibu. Jadi sunat laki-laki maupun perempuan
dimaksudkan untuk membersihkan anak, tidak membawa sukerto.) 5
Geertz, dalam The Religion of Java (1960) dalam studinya di Mojokuto (Pare,
Kediri, Jawa Timur) mengatakan bahwa ritual sunatan atau khitanan hanya
dilakukan bagi laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dilakukan upacara
kepanggihan atau perkawinan. Geertz juga menyimpulkan adanya percampuran
antara unsur Jawa dan Islam. Ritual sunatan atau khitanan tidak hanya bermakna
menjelang dewasa, tetapi juga ritual Islami. Sunatan merupakan rangkaian
kegiatan ritual siklus selamatan (bahasa Jawa slamet yang artinya selamat) dengan
berdoa diiringi kegiatan makan. Karena masyarakat jawa mengganggap masa
pupertas sebagai saat-saat kritis dalam kehidupan manusia, maka penyelenggaraan
slametan dipercayai mampu mendatangkan ketenangan dan keselamatan.6
Kesimpulan Geertz ini tentu saja kurang disetujui oleh memeluk Kristen karena
berdimensi budaya, bukan berdimensi Alkitab.
C. Sunat Menurut Perspektif Alkitab
Menurut Perjanjian Lama (PL), sunat pertama-tama mewujudkan tanda rohani,
dan kedua mempunyai arti kebangsaan yang mencirikan keanggotaan bangsa
Israil. Sunat juga merupakan tanda perjanjian yang dibuat oleh Abraham (Kej
17:10, 11, 13, 14). Sunat juga merupakan tanda kasih karunia Allah buat umat
manusia yang menandai penyerahan manusia kepada Allah. Perjanjian antara
Allah dengan manusia bekerja atas dasar kesatuan rohani antaranggota rumah
tangga dan kepalanya. Perjanjian itu diadakan ‘antara Aku dam engkau serta
keturunanmu turun-temurun (Kej 17:7). Pada Kejadian Pasal 17 ayat 26, 27
disebutkan bahwa Abraham dan anaknya Ismail disunat dan semua orang yang
berada di rumah Abraham disunat semua, baik orang yang lahir di rumahnya
maupun yang dibeli dengan uang dari orang asing.
Ikatan perjanjian antara Allah dengan Abraham dilaksanakan sepenuhnya oleh
Abraham dengan bersunat dengan cara mengerat kulit khatam. Anak-anak usia 8
tahun ke atas aharus di sunat. Abraham sendiri berumur 99 tahun ketika dikerat
kulit khatamnya, sedangkan anaknya Ismail berumur 13 tahun ketika disunat.
5
Ibid. p. 21.
6
Geerz, Clifford, The Religion of Java.Glencoe: Free Press. 1960. 5
Dengan demikian sunat merupakan tradisi Israil yang mewajibkan mereka
untuk menaati hukum Allah dengan melakukan sunat sesuai dengan perintah
Allah agar Abraham “ Hidup di hadapan Allah dengan tidak bercela”. (Kej 17:1)
Hubungan antara sunat dan ketaatan ditekankan di sepanjang Alkitab (Yer 4:4;
Rm 2:25-29; Kis 15:5; Gal 5:3). Sunat substansinya bukan mengandung
pengertian sebagai gagasan penyerahan diri pada Allah. Sunat menjelmakan,
menerapkan janji, dan menghimbau orang untuk hidup dalam ketaatan sesuai
dengan perjanjian. Darah yang tumpah dalam sunat tidak menyatakan batas
penyerahan diri itu, tetapi pengungkapan tuntutan yang mahal yang dibuat Allah
bagi mereka yang dipanggilNya, dan dicirikan dengan tanda perjanjiannya.7
Dalam Perjanjian Baru dengan tegas dinyatakan bahwa tanpa ketaatan, sunat
adalah omong kosong (Rm 2:25-29). Tanda lahirian dalam sunat akan pudar tanpa
menaati perintah-perintah Tuhan (1 Kor 7:18,19), beriman (Gal 5:6) dan ciptaan
baru (Gal 6:15). Namun demikian, orang Kristen tidak boleh memandang rendah
tanda itu. Walaupun tanda itu mengungkapkan keselamatan karena perbuiatanperbuatan hukum, orang Kristen harus menghidarinya (Gal 5:2) Justru yang
diperlukan adalah ‘Sunat Kristus’ berupa ‘penanggalan akan tubuh’ (bukan hanya
sebagian yaitu kulup atau ujung penis) atau sebagian dosa, suatu perbuatan rohani
yang tidak dilakukan oleh tangan manusia, suatu hubungan dengan Kristus dalam
kematian dan kabangkitanNya, yang dimeteraikan dalam peraturan penerimaan
atas Perjanjian baru (Kol 2:11, 12). Sebagai akibatnya, orang Kristen adalah
‘orang yang bersunat’8
.
Paulus juga menyuruh menyunatkan Timotius karena tradisi Yahudi
mensyratkan demikian. (Kis 16:1-3). Namun Paulus juga tidak menolak orang
yang tidak bersunat menjadi pengikutmya. Hal ini dilakukan Paulus karena ia
mengajar orang-orang bukan Yahudi agar meninggalkan hukum-hukum Musa
(Kis 21:21). Dengan demikian tampaknya Paulus menghendaki agar sebaiknya
orang tidak memelihara hukum Taurat dengan cara menahirkan dirinya dengan
ritual yang tidak menyelamatkan .9
D. Pandangan Pro dan Kontra tentang Sunat
7 Enslikopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002, 426-427.
8
Ibid. hal 247.
9 Dictionary of the Letter New Testament. P 227. 6
Gereja memiliki pandangan yang berbeda mengenai boleh atau tidak bolehnya
orang Kristen melaksanakan sunat. Tedapat beberapa pandangan dan sikap
terhadap sunat. Masing-masing pandangan dan sikap memiliki argumentasi
sendiri-sendiri terhadap pro dan kontra mengenai sunat. Berikut ini disajikan
beberapa pandangan mengenai sunat dari berbagai sudut pandang.
1. Dari sudut Akitabiah, sunat boleh dilakukan sepanjang
mereka tidak percaya bahwa sunat itu menyelamatkan
(Gal 5). Abraham menyunatkan anaknya dan keluarganya
karena terikat perjanjian dengan Allah dengan bangsa
Israil. Melakukan sunat seperti dalam PL untuk menjadi
Israil baru. Sedangkan sunat tidak dilakukan jika masih
ada anggapan menyelamatkan dan Kristus tidak ada
faedahnya. Jika orang masih meragukan kebenaran katakata rasul Paulus beberti meragukan isi Alkitab.
2. Dari perspektif iman. Orang yang menyunatkan anaknya
tidak perlu mengaitkan dengan ajaran agama lain, tidak
menghubungkan dengan keselamatan sehingga tidak
menggoyahkan iman Kristen. Seperti yang dilakukan
dalam kosmologi Jawa, bahwa sunat bertujuan untuk
membuang Sukerto, hambatan atau kesialan untuk
terhindar dari Betara Kala (raksasa pemakan manusia).
Namun demikian, orang Kristen yang melakukan sunat
juga tetap manjadi orang Kristen yang baik. Buktinya
banyak pendeta juga melakukan sunat. Orang Kristen
yang menyunatkan anaknya, bukan berarti ia masih hidup
dari alam Islam ke Kristen. Mereka melakukan sunat
bukan karena alasan agama Islam atau Kristen. Orang
Kristen menolak sunat jika dikaitkan dengan ritual berkait
denan agama lain, mengislamkan, minta doa restu kepada
“dhanyang yang mbaurekso” dan minta restu orang tua
dan hadirin.
3. Dari sudut pandang ekonomi. Sunat boleh dilakukan
untuk membetri identitas kesukuan dan bukan monopoli
agama tertentu. Dengan melakukan sunat orang tidak 7
merasa terlepas dari komunitasnya dan tidak dituduh
menentang adat yang telah turun-temurun. Sunat juga
dipandang sebagai tatacara yang amemiliki nilai ekonomis
terhadap yang melakukannya. Namun, sunat menjadi
pantang dilakukan jika dengan sunat memberi indentitas
Ismam atau “ngislamake” (mengislamkan)
4. Dari sudut psikologi. Sunat boleh dilakukan jika dapat
membawa rasa percaya diri anak dan menghindarkan diri
dari cemoohan karena memiliki penis yang berbeda
dengan teman-temannya.
5. Dari sudut kesehatan. Kegiatan sunat yang membuat penis
menjadi bersih mengapa mesti dilarang. Bahkan riset
seksualitas menunjukkan bahwa orang yang bersunat
memiliki kemampuan lebih baik dripada yang tidak
bersunat. Namun sunat juga tidak perlu dikakukan jika
dengan alasan tertentu dokter tidak merekomendasinya.
6. Dari perspektif evangelisme. Sunat boleh dilakukan jika
pelarangan sunat menjadi halangan orang untuik menjadi
Kristen. Bahkan dengan pelarangan sunat akan menjadi
ketegangan religius dengan anggota masyarakat lain
sehingga proses evangelisme menjadi terkendala.
Pandangan gereja Katholik terhadap sunat didasarkan pada Konsili Vatikan II,
yang diterjemahkan oleh Keuskupan Agung Semarang tangal 15 Agustus 1953
berkait dengan sunat yang prinsipnya seperti berikut.
1. Bagi umat Katholik, sunat boleh dilakukan bila ada alasan-alasan sah
dan memenuhi syarat tertentu, sehingga Gereja Katholik tidak
memperbolehkan begitu saja. Pertama, terjadi semacam mutilasi atau
pemotongan organ tubuh. Menurut etika Katholik mutilasi hanya boleh
dilakukan untuk alasan kesehatan. Kedua, ada anggapan bahwa ritus
keagaamaan Islam yang mengklaim bahwa sunat adalah kegiatan
“ngislamake” (mengislamkan). Padahal kegiatan sunat sudah dilakukan
sebelum Islam di Indonesia itu ada. Ketiga, sunat akan mempengaruhi
rangsangan seksual. 8
2. Sunat boleh dilakukan jika ada alasan medis dan demi kesehatan,
karena alasan sosial, demi hubungan sosial dalam masyarakat dimana ia
hidup, dan demi iman kepercayaan yang semakin besar. Dengan sunat
makin dapat mengekspresikan iman kepercayaannya kepada Tuhan.
Namun, yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan sunat pada
prinsipnya tanpa melakukan kegiatan yang berbau takayul dan tidak
menjalankan kegiatan atau upacara agama lain.
Berdasarkan “Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern:
Gaudium Et Spes (GS) No 53-63”, secara tidak langsung gereja Katholik
terbuka dengan kebudayaan dan adat-istiadat setempat yang tersebar dalam
Konsitusi dan Dekrit.10 Beberapa konsitusi diantaranya adalah Kristus adalah
kepenuhan wahyu Tuhan. Kristus menjadi manusia dan secara konkrit hidup
dalam kebudayaan dan adat-istiadat Yahudi, temasuk bangsa Indonesia. Hal
itu selaras dengan sikap Paulus terhadap iman pada Kristus. Melakukan sunat
yang amerupakan tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Kristus tidak
menjadi persoalan.
Gereja tidak terikat oleh adat istiadat tertentu. Gereja ytang diutus ke
segala bangsa dari segala masa dan tempat tidak secara khusus terikat dan
tidak terpisahkan dengan suatu suku atau bangsa dengan corak hidup dan
tradisinya. Gereja dapat besatu dengan peradaban dan dapat memperkaya
peradaban. Sunat yang memberi keadaran untuk berekonsiliasi pada mereka
yang bertikai, sunat yang dapat memberi harmoni dalam budaya yang guyup
rukun dan saling menolong , akan dapat memperkaya gereja.
Gereja menerima setiap kebudayaan dan istiadat yang positif. Bukan
hanya secara positif mentolelir atau membiarkan, tetapi gereja mau menerima ,
mengembangkan, dan memanfaatkan ekspresi iman, setelah dibebaskan dari
unsur-unsur takhayul.. Apa saja yang terdapat dalam praktek keagamaan serta
kebudayaan bangsa harus dimurnikan, dipertinggi dan dibawa ke
kesempurnaan.
E. Refleksi Teologis
10 Purwawidyana PR, Chr, “Visi Gereja Katholik terhadap Adat Istiadat, Khususnya Sunat”. Dalam
Sunat. Yogyakarta: Buletin LPK No 97. 1978: hal. 14-19. 9
Aktivitas sunat yang dilakukan komunitas Kristen, sesungguhnya berbeeda
sekali dengan konteks yang dialami Rasul Paulus dan dalam PB/PL. Konteks
sunat oleh Rasul Paulus adalah dalam rangka keselamatan, sedangkan
koenteks sunat zaman sekarang, lebih berdimensi kesehatan, sosial, dan
sosialisasi. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan keselamatan. Orang
Kristen melakukan sunat karena butuh kesehatan, kemampuan seksual, dan
diterima oleh komunitas, tanpa harus melunturkan iman percayanya kepada
Tuhan Yesus.
Melakukan sunat yang tidak bertentangan dengan kebenaran Alkitab
mengapa tidak dilaksanakan? Jika orang Kristen konservatif mempertahankan
untuk tidak bersunat, apa faedahnya bagi kesehatan, kebersihan, potensi
seksual dan bersosialiasi. Orang bersunat dan tidak bersunat , keduanya
memang tidak melanggar HAM, yang sangat tergantung dari perspektif
pelakunya. Kalau seseorang tidak melakukan sunat namun hidupnya
sepenuhnya menjadi ciptaan baru dapat menjadi contoh hidup. Namun, ketika
orang melakukan sunat, sedangkan hidupnya tidak pernah lahir baru, apalah
gunanya?. Baik yang bersunat maupun tidak bersunat memiliki sudut pandang
berbeda. Di satu sisi sunat memiliki dimensi sosiologis dalam hubungannya
keikutsertaan pelaku dalam bersosialisasi di masyarakat. Di sisi lain, dari
sudut teologi, sunat tidak ada hubungannya dengan keselamatan. Meminjam
istilah Iklan deodorant, “setelah itu terserah anda”. Ada dapat melakukan dan
dapat pula tidak melakukan. Akibat baik buruknya sunat atau tidak sunat
tergantung dari pelakunay sendiri.
Mengakhiri tulisan ini, penulis sebagai jemaat Tuhan Yesus perlu
setuju dengan sunat kulup. Ketika disunatkan Yesus baru berumur 8 hari (Luk
2:21). Yohanes pada hari ke delapan di sunat (Luk 1:59) Ismail pada usia 13
tahun, ayahnya Abraham disunat 99 tahun, dan rata-rata anak Indonesia
disunat pada usia 12 tahun. Alasan sunat dilakukan paa zaman sekarang selain
berdimensi sosial juga berdimensi teologis. Sakitnya sebentar saja, nikmatnya
tak terhingga. 10
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, FF. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2002.
Dictionary of the Letter New Testament.
Dyah, Putranti, Basicila, et all. Male and Female Genital Cutting Among Javanese
and Madurese. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah
Mada University and Australian Nasional University.1
Enslikopedia Alkitab
Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002
Geerz, Clifford, The Religion of Java.Glencoe: Free Press. 1960.
Purwawidyana PR, Chr, “Visi Gereja Katholik terhadap Adat Istiadat, Khususnya
Sunat”. Dalam Sunat. Yogyakarta: Buletin LPK No 97 GKI dan GKJ Jateng.
1978
Wismoyoadi, Wahono. S. “Sunat dalam Akitab”.dalam Sunat. Yogyakarta: Buletin
LPK No 97 GKI dan GKJ Jawa Tengah, 1978
Oleh Suroso
Source : staff.uny.ac.id
0 komentar:
Posting Komentar