This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Rabu, 14 September 2016
Ahok: Saya Kurang Suka Alkitab di Gadget
07.25
MPG
No comments
Orang Kristen makin banyak jarang membaca Alkitab, meskipun di gadgetnya tersimpan Alkitab elektronik. Alkitab di gadget kebanyakan dibaca ketika ada acara kebaktian atau persekutuan, tetapi dibaca untuk kebutuhan pribadi sebagai kerinduan akan Firman Tuhan mungkin hanya sebagian kecil pengikut setia Tuhan.
Bagaimana dengan Ahok? Ahok mengatakan bahwa ia kurang suka Alkitab di gadget. Mengapa? Berikut kesaksian Ahok sebagai pengikut Kristus:
“Pegangan utama saya dalam menjalankan tugas saat ini hanyalah konstitusi, namun Nilai Hidup saya standarnya adalah Firman Tuhan. Saya katakan bahwa apabila seorang hamba Tuhan terbukti bersalah, saya tidak akan membelanya, tetapi membiarkannya melewati proses hukum. Saya tidak takut mati demi konstitusi.”
Pesan saya kepada isteri saya, ”Kalaupun saya mati, tuliskan pada batu nisan kutipan dari Filipi 1:21 yaitu “Mati adalah keuntungan.” Lho koq begitu, mengapa tidak ditulis secara lengkap?
Untuk kalimat: ”Karena bagiku hidup adalah Kristus…” sengaja tidak mau saya cantumkan pada batu nisan kuburan, karena saya belum sepenuhnya mempraktekkan bagian dari ayat itu.”
“Saya selalu membawa segala pergumulan ke dalam doa terlebih dahulu. Sebelum saya bicara, saya sudah cek hati saya, apakah itu untuk kepentingan pribadi atau bukan? Saya selalu minta Tuhan untuk selidiki hati saya, apakah itu untuk mengusahakan kesejahteraan orang lain atau belum? Saya suka curhat dengan Tuhan. Dalam Yesaya 42 juga menyatakan bahwa kamu harusbring justice (membawa keadilan).”
“Menurut saya, duduk diam di kaki Yesus adalah saat-saat paling berharga dalam hidup ini. Saya suka bangun pagi-pagi jam 4:30 dan malam sebelum tidur untuk saat teduh.”
“Kalau dulu mau pelayanan jam 6.00 pagi, saya bangun jam 4.00 pagi. Hari Minggu harus bangun lebih pagi. Gereja harus melatih jemaat untuk memiliki hubungan intim dengan TuhanYesus. Pemimpin gereja harus membawa jemaat sampai mereka keranjingan baca Firman Tuhan. Kalau sudah begitu, Anda ke manapun akan membawa Alkitab.”
“Dalam setahun, pasti saya selesai membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu. Apabila saya sudah membaca Alkitab sampai habis selama 5 kali, saya pasti mengganti Alkitab tersebut karena banyak catatan-catatan yang menumpuk di setiap halamannya.”
“Saya kurang suka Alkitab di gadget karena tidak bisa langsung ditulis berdekatan dengan ayat-ayat seperti di Alkitab biasa. Saya sangat menghargai rhema dari Tuhan. Pertemuan pribadi dengan Tuhan merupakan hal terindah bagi saya.”
“Saya selalu menyempatkan diri untuk sharing bersama istri dan anak-anak tentang Firman Tuhan.
Saya selalu menekankan agar anak2 hrs bertemu secara pribadi dgn Tuhan. Saya akan terus memperingati anak-anak dan isteri untuk selalu bergantung dan membangun hubungan intim dengan Tuhan.”
“Saya mendidik anak-anak agar mereka selalu memandang Tuhan. Yang paling penting, di saat anak saya memiliki pergumulan, ia harus mengalami pertemuan sendiri dengan Tuhan Yesus, itulah yang saya ajarkan kepada mereka. Bahkan, anak saya yang perempuan sudah habis membaca Alkitab sejak SMP. Saya harus yakinkan dia bahwa bapakmu sekarang, bisa bertahan karena Tuhan. Kalau suatu hari bapakmu tidak ada pun, Tuhan tidak pernah salah. Bapakmu tidak bisa menolongmu untuk menghadapi pergumulanmu. Lebih penting temui Tuhan.”
Itulah sekilas kesaksian Ahok. Semoga mnjadi berkat buat kita semua.
(Dari Wawancara Majalah Integrity)
http://www.nttone.com/ahok-saya-kurang-suka-alkitab-di-gadget/#.V9gf2F3RTCE.facebook
Senin, 12 September 2016
PANGGILAN RELIGIUS UNTUK MENJADI MISTIK DAN NABI
08.03
MPG
No comments
PANGGILAN RELIGIUS UNTUK
MENJADI MISTIK DAN NABI
Surabaya, 14 Oktober 2011, Oleh: Rm. Sad Budianto, CM
1. PENGANTAR
Ulasan saya ini lebih berfokus pada “menjadi nabi” karena pengandaian bahwa menjadi mistik sudah lebih didalami dalam rekoleksi. Selain itu panggilan kenabian mengandaikan hidup mistik(dekat dengan Allah), karena tanpa kedekatan dengan Allah nabi hanya akan menyampaikan suaranya sendiri atau suara orang yang membayarnya.
Kita akan mulai dengan melihat pengertian dan fenomen kenabian dalam Kitab Suci kita dan menyimpulkan pengertian pokoknya. Kemudian kita akan melihat kenabian yang dibutuhkan dewasa ini berdasarkan masalah pokok masyarakat dewasa ini. Lalu mengusulkan tiga tindakan kenabian yang dapat kita usahakan.
2. PENGERTIAN DAN FENOMEN KENABIAN
Nabi adalah orang yang dipanggil dan diutus Tuhan untuk mewartakan Sabda Allah dan dengan itu menjadi penyambung lidahNya[1]. Fenomen kenabian dalam bangsa Israel berbeda dengan di luar Israel, terutama dalam hal kedekatannya dan kehangatan relasi mereka dengan Tuhan. Bisa dikatakan mereka ini senantiasa dikuasai oleh sabda Tuhan dan digerakkan oleh Roh Nya.[2] Dalam arti ini maka seorang nabi sejati sekaligus adalah seorang mistikus, orang yang dekat dengan Allah. Nabi yang bukan mistikus pastilah nabi palsu yang menyampaikan pikirannya sendiri atau orang yang membayarnya.[3] Dalam sejarah Israel pada jaman kerajaan memang nabi menjadi profesi semacam penasehat raja. Di antara mereka memang ada yang yang hanya menjalankan profesinya tak jarang hanya untuk menyenangkan raja, namun juga ada nabi sejati yang menyuarakan pesan Tuhan kepada raja, seperti yang terkenal yaitu Natan pada jaman Daud. Dia menyampaikan antara lain tentang kekekalan wangsa Daud, tentang pembangunan rumah Tuhan (2 Sam 7), dan tentu saja yang paling terkenal –juga keindahan dan kekuatannya- tegurannya kepada Daud yang mengambil isteri Uria panglimanya yang setia dengan membunuh suaminya itu (2 Sam 12:1-14).
Dalam arti tegas kenabian sering dibatasi pada para nabi penulis yang berkarya pada jaman kerajaan, pembuangan dan sesudah pembuangan. Namun kata nabi juga digunakan untuk Abraham yang berdoa bagi Abimelekh (Kej 20:17), dan terutama untuk Musa yang disebut sangat istimewa kedekatanNya dengan Tuhan, bahkan Tuhan sendiri berbicara berhadap-hadapan dengan dia (Bil 12:8), juga karena berkali ia menjadi pengantara berdoa bagi umat. Termasuk salah satu ciri kenabian dalah berdoa bagi umat atau menjadi perantara umat dalam doa.[4]
Tokoh istimewa sebelum nabi penulis adalah Samuel. Ia dipanggil oleh Tuhan pada “masa firman Tuhan jarang dan penglihatan-penglihatan pun tidak sering” (1Sam 3:1). Sejak panggilan itu Tuhan selalu menyertai Samuel dan ia “tidak membiarkan satu firman Nya pun gugur” (3:19 bdk 2 Raj 10:10) artinya Samuel sangat setia melaksanakan dan menyampaikan sabda Tuhan. Setelah itu pada jaman kerajaan kita telah melihat di atas ada nabi Natan pada jaman Raja Daud.
Para nabi penulis – disebut demikian bukan berarti mereka sendiri yang menulis- namun hidup dan sabda Tuhan melalui mereka dituliskan dalam kumpulan Kitab-kitab Kenabian seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos, Hosea dll. Mereka ini dipanggil Tuhan untuk menyampaikan sabdanya kepada bangsanya termasuk para pemimpin dan rajanya. Mereka menyampaikan sabda Tuhan dengan lantang dan kebanyakan dengan nada keras untuk mengoreksi kehidupan bangsanya karena kurang setia kepada Tuhan yang seringkali juga diikuti ketidaksetiaan terutama dalam bentuk ketidakadilan dan penindasan kepada sesama. Mereka juga mengecam ibadat palsu karena tidak disertai berbuat kasih kepada sesamanya terutama yang paling miskin dan terlantar. Selain berbicara mereka juga menyampaikan sabda Tuhan lewat perbuatan tanda dengan hidupnya sendiri sesuai dengan perintah Tuhan. Demikian Hosea diminta Tuhan menikahi perempuan sundal untuk menunjukkan ketidaksetiaan Israel kepada Tuhan.
Para nabi tentu saja pertama-tama adalah orang yang merasakan dan menanggapi panggilan Tuhan baginya( Am 7:15; Yes 6:1-11; Yer 1:4-19; Yeh 1:1-3:15). Suatu panggilan yang menantang, namun sekaligus menarik karena kedekatan pergaulan mereka dengan Allah sendiri. Pergaulan itu sungguh manusiawi, sering sangat emosional juga (Yer 12:1-4;15:10-18). Dari kedekatan pergaulan dengan Allah itu mereka ditarik untuk menjadi sehati dan sekeprihatinan dengan Allah dan karena itu berani mengungkapkan keprihatinan itu walau sering dengan resiko ditolak, dikucilkan, dianiaya, bahkan dibunuh. Namun mereka berani menghadapi semua itu demi menyuarakan suara Tuhan yang dibutuhkan oleh manusia. “Dan baik mereka mendengarkan atau tidak- sebab mereka adalah kaum pemberontak- mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka” (Yeh 2:5 bdk 33:33)
Kedekatan pergaulan dengan Allah tidak membuat seorang nabi menyingkiri dunia, namun sebaliknya karena kedekatan itulah mereka bersama Allah dapat masuk ke jantung permasalahan umat manusia, bangsanya. Seorang nabi sangat mengasihi bangsanya. Mereka sering kali menangis karena ketegaran dan kebebalan hati umat manusia yang sering mencelakakan diri atau menggali lubang kuburnya sendiri “karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau” (bdk. Luk 19:41-44)
Bagi nabi, Allah adalah Allah yang peduli dan terlibat dengan hidup manusia. Allah adalah Tuhan dari sejarah, sang Penyelenggara ilahi. Dia begitu dikuasai oleh Roh Allah yang begitu mengasihi umat manusia(Yoh:16-17) untuk menyerukan kebenaran, kecaman dan ancaman bila mereka tidak bertobat. Dikuasai Roh yang demikian itu kadang begitu menakutkan karena harus menentang bangsanya yang keliru dengan akibat dikucilkan, dianiaya, bahkan dibunuh. “Tetapi apabila aku berpikir: ‘Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi namaNya’, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup” (Yer 20: 9; bdk. Luk 22: 41-44). Tentu saja para nabi tidak hanya mengecam dan mengancam, namun juga menghibur dan memberi harapan tatkala umat putus asa. Sabda pengharapan ini banyak kita jumpai pada nabi Deutero dan Trito Yesaya yang berkarya pada Jaman Pembuangan dan sesudahnya (Yes 40-66). Mengimani Allah yang demikian itu maka kelirulah kalau orang menyingkir dari dunia ini untuk mencapai kekudusan (kesatuan dengan Allah). Kekudusan yang ditunjukkan para nabi adalah kekudusan yang terlibat dalam dunia, dalam suka duka hidup manusia (Yer 15:16-17, bdk GS 1). Hidup para nabi menunjukkan bahwa bersama Allah kita akan dapatmembaca tanda-tanda jaman dengan tepat, serta menyerukan suara Tuhan, jalan kebenaran yang membawa keselamatan bagi umat manusia.
Hal lain yang sering kurang disoroti dalam membahas kenabian adalah soal murid-murid atau pewaris mereka, padahal fenomen ini nyata dalam Kitab Suci. Musa diminta Tuhan untuk memilih 70 orang yang akan dicurahi sebagian Roh yang dicurahkan Tuhan pada Musa agar dapat ikut memikul tanggungjawab bersamanya. Berbeda dengan sikap Yosua muridnya, Musa malah menginginkan seluruh umat menjadi nabi (Bil 11:16-17, 24-29), Elia mewariskan rohnya kepada Elisa (2Raj 2), Yesaya menyebut murid-muridnya (8:16). Yesus juga memilih orang untuk menjadi rasul-rasulnya.
3. KARAKTER KENABIAN
Setelah kita mengamati fenomen kenabian dalam Kitab Suci kita, kiranya perlu kita menarik beberapa kesimpulan:
3.1.Para Nabi adalah orang yang dipanggil oleh Allah yang begitu mengasihi dunia dan dikuasai oleh roh kasih Allah untuk menyuarakan sabda Allah bagi keselamatan umat manusia. Dalam arti ini mereka adalah seorang mistikus, seorang yang dibakar oleh nyala kasih Allah.
3.2.Sabda Allah itu menanggapi situasi konkrit yang dialami umat: kecaman dan ancaman ketika mereka sesat, penghiburan dan pengharapan ketika mereka putus asa. Pesan utama nabi adalah agar umat manusia kembali kepada Allah yang menghendaki mereka bertindak benar dan kasih kepada sesama. Melalaikan Allah membuat mereka mengabaikan keselamatan bagi dirinya dan sesama.
3.3.Nabi menyampaikannya dengan berbagai cara sesuai dengan keadaan jaman: ada yang menjadi pemimpin (Abraham dan terutama Musa) ada yang menjadi penasehat raja, ada yang berseru-seru di pasar (tempat ramai), mendatangi raja dan menyampaikan teguran Tuhan, perbuatan tanda, bahkan dengan hidupnya: Hosea mengawini perempuan sundal (Hos 1-3), Yeremiah membeli tanah (Yer 32) dan selibat (Yer 16:1-9), menderita sakit (Yeh 3:25; 4:4-8). Mereka menghayati itu sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup(Elia) dan mahakudus (Yes)[5]
3.4.Nabi tidak menginginkan kuasa kenabian hanya pada diri mereka, malah mereka berharap semua umat menjadi nabi. Paling sedikit mereka peduli untuk mewariskan semangat mereka kepada para muridnya, dan bila Tuhan berkenan juga mencurahkan Roh yang sama kepada penerusnya. “Tidak cukup bagiku mengasihi Tuhan bila sesamaku belum mengasihiNya” (Santo Vinsensius).
Setelah memahami fenomen kenabian menurut Kitab Suci, bagaimana kita menerapkan kenabian dalam dunia dewasa ini?
Seperti telah kita lihat diatas kenabian merupakan suara Tuhan untuk menanggapi permasalahan masyarakat pada jamannya untuk memperbaikinya. Dalam arti tertentu nabi memimpin manusia untuk kembali kepada Tuhan, ke jalan yang benar. Merenungkan kenabian dewasa ini kita harus mulai dengan melihat apa permasalahan mendasar bangsa kita dewasa ini. Setiap tahun KWI menerbitkan Nota Pastoral nya untuk menyoroti permasalahan bangsa ini dan mengajak kita untuk menanggapinya. Anda dapat membaca dan menanggapinya. Namun saya ingin mengajak anda untuk melihat permasalahan masyarakat secara lebih mendasar, yakni manusianya. Dan sehubungan dengan itu tak cukup kita hanya merencanakan kegiatan kenabian, namun bagaimana kita sendiri dan anggota kita menghayati menjadi nabi itu.
Robert K Greenleaf pencetus Servant Leadership menantang lembaga religius dengan beberapa pertanyaan mendasar:
(1) Mungkinkah lembaga-lembaga religius mempunyai orang-orang yang dapat memimpin lembaganya untuk menjadi unsur yang lebih konstruktif bagi pembangunan masyarakat yang baik?
(2) Dapatkah suatu visi yang baru, dirumuskan secara menarik, profetis, melahirkan iman yang dibutuhkan oleh mereka yang berpotensi memimpin untuk berani menanggung resiko, membangun kekuatan, dan membuat usaha baru yang lebih tegas dalam memimpin?
(3) Dapatkah kita membangun bentuk-bentuk baru dari kepemimpinan religius yang diterima oleh masyarakat dewasa ini sebagai realistis dan berguna?
Mungkin dibutuhkan bahasa yang baru, konsep yang baru, ketrampilan baru. Untuk itu kita perlu mendefinisikan kembali arti: roh,memimpin, religius.
ROH seringkali dimaksudkan sebagai prinsip hidup atau kekuatan yang menghidupkan dalam diri mahluk hidup. Namun definisi itu belum ada dimensi nilainya, perlu definisi yang lebih mengena: Roh adalahkekuatan hidup yang mendorong orang untuk melayani orang lain. (bdk.Luk 4:18). Rohaniwan, refleksi teologis, buah kontemplasi yang tidak menggerakkan manusia yang berkarya di dunia dengan semangat melayani tidak ada gunanya (bdk. Mat 25:40; Yak ; 1Yoh 4:19-21).
MEMIMPIN adalah berjalan di depan untuk menunjukkan jalan/arah. Bukan sekedar berjalan di depan parade yang sudah tertentu arahnya (mapan), namun khususnya pada saat arah itu tidak jelas atau jalan itu berbahaya. Karena itu memimpin berarti berani ambil resiko, berani mencoba
RELIGIUS berarti mengikat kembali, mengembalikan pada Tuhan/jalan yang benar, mengutuhkan, menyembuhkan. Dari apa? Kesesatan atau keterasingan, terutama ketidakpedulian orang/lembaga pada sesamanya manusia. Orang/lembaga dewasa ini tidak tergerak untuk melayani manusia. Walau mereka sebenarnya mampu, sering mereka tidak mau memberi suatu yang konstruktif, peran yang mendukung masyarakat. Mungkin karena mereka ini tidak fokus pada misinya tersebut , tidak mendengarkan suara rohnya. Jadi religius sebenarnya adalah segala pengaruh atau tindakan yang mengikat/mengutuhkan/
Kita merasakan sendiri bagaimana perusahaan-perusahaan dewasa ini hanya melihat karyawannya sebagai sarana ekonomi dan tak mau bertanggungjawab atas kehidupan mereka sebagai manusia, antara lain lewat lembaga out-sourcing. Kita melihat juga kurangnya kepedulian pemerintah kepada rakyatnya terutama yang lemah dan miskin. Saya mengusulkan 3 tindak kenabian untuk menanggapi masalah mendasar masyarakat kita dewasa ini. Pertama, pembaharuan diri untuk menjadi pemimpin pelayan. Kedua, memberi perhatian pada kerasulan kaum muda demi membina mereka menjadi pemimpin pelayan. Ketiga, membangun komunitas basis demi kesejahteraan anggotanya.
5. PEMBAHARUAN DIRI UNTUK MENJADI PEMIMPIN PELAYAN
Mengapa anda mau memimpin? Mungkin banyak yang mengatakan: ya karena dipilih, sebenarnya kalau bisa juga nggak mau. Tapi semoga dalam perjalan waktu anda menyadari bahwa Tuhan memilih anda menjadi pemimpin untuk melayani. Lain dengan orang yang pertama-tama mau memimpin, mau menguasai, orang yang mau melayani memperhatikan dan mengusahakan agar kebutuhan utama orang lain terpenuhi. Karena itu setiap kali anda perlu bertanya:
- Apakah yang saya layani tumbuh sebagai pribadi?
- Apakah mereka menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri, dan kemudian siap untuk melayani?
- Apakah pengaruh kepemimpinan saya bagi warga yang paling lemah? Apakah mereka diuntungkan, atau sedikitnya tidak semakin terpuruk?
5.1. Mau mendengarkan dan memahami
Banyak persoalan muncul karena orang tak mau mendengarkan. Dan sebaliknya banyak persoalan dapat diselesaikan dengan mendengarkan dan memahami. Mendengarkan dengan baik memberi kekuatan pada yang didengarkan. Itulah sebabnya banyak orang yang didengarkan menjadi kuat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Mendengarkan sering juga membawa penyembuhan bagi yang didengarkan maupun yang mendengarkan. Untuk mendengarkan dengan baik dibutuhkan disiplin diri terus menerus, sampai kita secara otomatis menanggapi masalah dengan pertama-tama mendengarkan. Untuk mendengarkan dengan baik orang tak boleh takut untuk hening. Dalam dunia dewasa ini hening bisa terasa menakutkan, namun kalau dibiasakan akan justru akan membuat suasana santai yang penting untuk dapat bicara tulus dan jujur.
5.2. Sering retret dan reorientasi diri
Retret sangat penting pertama-tama untuk melihat dunia ini bersama dengan Allah. Merasa bahagia sekaligus prihatin bersama Dia. Retret juga perlu untuk menyadarkan bahwa kita bukan pusat dunia ini (tarekat kita), tapi Tuhan. Karena itu retret perlu menjadi jadwal rutin yang sering kita lakukan sebagai religius. Selain itu dan reorientasi diri sangat penting agar kita dapat mengambil jarak dan melihat persoalan dengan jernih, membedakan yang lebih penting daripada yang kurang penting walau kelihatannya mendesak. Retret juga penting untuk mawas diri, tidak gampang melihat persoalan pada orang lain atau di luar diri, berani mengambil tanggungjawab. Tentu sebagai religius ini semua dapat kita lakukan karena yakin Tuhan menyertai kita, dan bersamaNya selalu bertanya: “bagaimana saya dapat melayani lebih baik lagi”.
5.3.Mau menerima dan berempati
Tak ada orang yang sempurna. Kita perlu menerima dan berempati dengan orang yang kita layani agar mereka merasa “at home” dan berharga. Bahkan orang yang kacau, malas, kurang dewasa dapat mengabdi dan melakukan tindakan besar jika dihargai dan dipimpin dengan bijaksana.
5.4. Berani melihat kenyataan apa adanya
Tak mudah bagi kita untuk melihat persoalan apa adanya. Prasangka, luka batin, ketakutan kita sering menjadi saringan yang menghambat kita melihat apa adanya. Karena kenyataan menantang kita untuk menanggapi. Memupuk kesadaran kita bersama Allah akan membuat kita berani untuk melihat kenyataan diri, sesama dan lingkungan dan menanggapinya dengan penuh tanggungjawab.
5.5. Meyakinkan dan mengajak – bila perlu seorang demi seorang
Memerintah itu gampang, tapi bila kita ingin menumbuhkan anggota kita, jangan memaksa atau membiasakan mereka menjadi robot. Usahakan mereka bertindak sungguh dari keyakinan. Itu yang akan membuat mereka bekerja dengan senang, kreatif, dan pada gilirannya juga menularkan keyakinan itu pada sesama. Memaksakan kehendak anda pada gilirannya juga akan melahirkan pemaksa kehendak. Anda tak bisa memperbaiki lembaga karya anda, tanpa memperbaiki sikap anda pada anggota anda yang berkarya disitu.
5.6. Membangun komunitas
Hanya komunitas yang mampu memberi kasih yang menyembuhkan dan mengutuhkan manusia. Karena hanya komunitaslah yang mampu mengasihi anggotanya seutuhnya tanpa batas seperti keluarga. Perusahaan dan lembaga lain dewasa ini seringkali membatasi tanggungjawabnya sesuai dengan namanya Ltd (Limited). Kita masih akan mendalami hal ini pada tindakan kenabian ke tiga di bawah.
6. PERHATIAN PADA PASTORAL KAUM MUDA
Stephen Covey menunjukkan bagaimana anak anak yang apatis dan berpotensi merusak dapat menjadi anak baik yang berkontribusi pada masyarakat ketika disadarkan dengan diberi peran dan dibimbing. [8] Seorang kepala sekolah ini menangkap dengan jitu permasalahan manusia dewasa ini: “Saya sangat meyakini bahwa bentuk pencurian identitas yang paling berbahaya dalam masyarakat masa kini bukanlah apa yang tengah terjadi pada ekonomi kita, melainkan apa yang tengah terjadi pada kaum muda. Agar terkesan “keren” mereka harus bersikap dengan gaya tertentu. Agar terkesan “hot” mereka mengenakan mode tertentu atau bergaul dengan kelompok tertentu. Beberapa di antara mereka dinilai hanya dari angka ujian mereka.”[9]
Saya punya keyakinan masalah paling mendasar dari bangsa kita adalah soal pembangunan manusianya, terutama kaum muda. Dan kita belum berbuat cukup banyak untuk ini, walaupun kita punya banyak lembaga pendidikan. Banyak pembicaraan kita tentang lembaga pendidikan di dominasi oleh masalah ekonomi. Mungkin masalah ini tak selalu muncul secara eksplisit dalam pertemuan kita, tapi bahwa masalah ekonomi cukup dominan tampak antara lain dari: suasana persaingan antar sekolah katolik, kurangnya keberanian berinovasi dengan alasan ekonomi, sikap dan kata-kata yang kurang simpatik pada golongan ekonomi lemah dalam penerimaan murid baru, sikap kita terhadap guru dan karyawan. Saya yakin kita perlu bersinergi saling mendukung antar sekolah katolik, juga antara sekolah dengan Gereja (paroki maupun keuskupan) baik dalam soal perkembangan pendidikan, maupun dalam soal ekonomi. Jika kita mau duduk bersama dalam Tuhan saya yakin tak ada masalah yang tak bisa dipecahkan dengan baik. Dan dengan demikian peran kenabian kita bersama akan semakin memancar menghadapi tantangan jaman.[10]
Bukan hanya dalam lembaga pendidikan formal yang kita miliki. Kita perlu mendekati kaum muda di medan pastoral lain di paroki, kampus dan sekolah-sekolah non katolik untuk menampakkan pangilan kenabian kita. Kita melihat semakin sedikit kaum religius yang terlibat dalam kegiatan pastoral paroki. Demikian pula banyak KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) mengalami kesulitan untuk mendapatkan pembina, apalagi pendamping religius yang bersedia menemani mereka dalam kegiatan sehari-hari. Memang kita tak boleh eksklusif mendampingi kaum muda, namun kaum muda dan anak-anak sering menjadi jalan untuk mendekati dan mendampingi orang-tuanya – peluang yang mungkin sering kurang kita lihat dan manfaatkan. Beberapa kelompok yang mendampingi orang miskin di perkampungan meneguhkan hal ini. Jika masyarakat melihat kita penuh kasih dan perhatian pada anak-anak mereka, kita juga menawan hati orang tuanya[11]
Apa yang perlu kita ajarkan pada kaum muda? Stephen Covey membantu kita dengan Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Kebiasaan ini terbukti dapat dilakukan dan sangat berguna mulai anak-anak. Tentu saja kita sendiri harus lebih dahulu melaksanakannya.
KEMENANGAN PRIBADI
6.1. Jadilah proaktif
Manusia adalah mahluk yang tanggap terhadap apa dan siapa yang dihadapinya. Namun tanggapan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan bebas sesuai dengan visi dan misinya. Visi dan misi diperoleh jika manusia memahami dirinya sendiri. Hanya dengan demikian manusia akan hidup dari dalam ke luar, dan menjadi proaktif, tidak begitu saja reaktif. Orang yang reaktif hidup tanpa tujuan atau visi misi yang jelas. Hidupnya ditentukan oleh apa saja atau siapa saja yang menarik baginya. Itulah sebabnya kita harus membiasakan hidup proaktif, bukan reaktif.
6.2. Selalu mulai dengan tujuan
Sikap proaktif mendukung kebiasaan untuk selalu bertindak berdasarkan tujuan hidup kita. Kita menemukan tujuan, visi-misi atau panggilan kita jika tahu mengintegrasikan gairah, bakat, kebutuhan, nurani dalam hidup kita. Membiasakan diri untuk berpikir, merasa, berkata, dan bertindak berdasarkan tujuan akan membuat hidup kita menjadi efektif. Kita tidak dipermainkan perasaan(emosi) atau pikiran sesaat yang membuat kita terombang-ambing tanpa tujuan dalam hidup ini.
6.3. Mendahulukan yang utama
Setiap hari kita dipenuhi begitu banyak kesibukan. Kalau mau jujur sebenarnya kita tak mungkin mampu memenuhi semua kegiatan itu. Maka kita harus memilih mulai dari kegiatan yang sungguh penting, baru kemudian yang kurang penting dan seterusnya. Sikap ini harus kita biasakan dalam hidup sehari-hari dengan disiplin. Disiplin bukan hanya demi keteraturan hidup, tapi demi mencapai tujuan hidup.
KEMENANGAN PUBLIK
6.4. Berpikir Menang-Menang
Hidup ini cukup berlimpah bagi semua orang. Karena itu kita tak perlu bersaing. Sebaliknya kita harus saling mendukung dan mengembangkan. Kesepakatan kita harus adil bagi setiap pihak, sehingga tak ada yang merasa kalah atau dirugikan.
6.5. Memahami Baru Kemudian Dipahami
Memahami tidak sekedar mendengarkan, juga tidak sekedar mengerti secara intelektual. Perlu kita sadari bahwa kita sering mendengarkan dan menanggapi secara otobiografis. Kita mengevaluasi sesuatu berdasarkan apa yang kita setujui, kita menyelidik berdasarkan kerangka acuan kita sendiri, kita menasehati berdasarkan pengalaman kita sendiri, kita menafsirkan berdasarkan motif kita sendiri. Kita perlu memahami dengan hati untuk benar-benar dapat berempati dengan sesama kita. Hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak dikenal oleh akal, kata Pascal. Hanya kalau kita sungguh-sungguh memahami sesama, maka dia akan berusaha memahami kita.
6.6. Bersinergi
Banyak orang melihat orang yang berbeda dengan dia itu keliru atau berlawanan dengan dia. Padahal sebuah lukisan menjadi indah karena memadukan berbagai warna yang berbeda. Kita harus belajar untuk melihat perbedaan sebagai peluang untuk bersinergi daripada berkonflik. Kita perlu menciptakan tujuan bersama yang dapat dicapai dengan memadukan berbagai peran.
MEMELIHARA
6.7. Mengasah Diri
Dunia sekitar kita terus berubah dan berkembang, karena itu kitapun perlu terus mengasah diri untuk berkembang. Jika kita tak berkembang, kita menghambat perkembangan dunia (orang) di sekitar kita, apalagi kalau kita punya otoritas dan pengaruh. Selain itu kalau kita terus mengasah diri, kita akan bekerja dengan lebih efisien dan efektif. Kita tak pernah boleh mengabaikan kesempatan untuk mengasah diri, termasuk demi alasan kesibukan. Covey memberi contoh pengajaran ini.
Seorang tukang potong kayu yang kuat terus bekerja menggergaji kayu, dia hanya beristirahat untuk makan dan tidur. Suatu ketika ada orang yang mengingatkan dia untuk mengasah gergajinya. Sambil terus bekerja dia mengatakan: “Kamu lihat sendiri saya terus bekerja, mana mungkin saya sempat mengasah gergaji ini”. Sayang sekali, padahal seandainya dia mengasah gergaji itu, dia akan dapat bekerja lebih cepat dan menghasilkan potongan kayu lebih banyak, daripada terus bekerja.
7. MEMBANGUN KOMUNITAS BASIS
Seperti kita telah melihat kini lembaga-lembaga besar tidak bisa kita harapkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan kita. Ambil contoh konkrit sebuah sekolah katolik di kota kecil sulit hidup karena himpitan sekolah negri dan sekolah swasta lain. Kita sering putus asa dan kadang membiarkan saja sekolah itu sampai mati sendiri. Saya sering kasihan sekali melihat para guru di situ, mereka menjadi orang yang sangat minder dengan gaji jauh dari tingkat sejahtera. Mereka bekerja ala kadarnya karena sulit menemukan pekerjaan lain. Kadang mereka menghibur diri atau kita hibur bahwa untuk melakukan pekerjaan luhur itu dibutuhkan matiraga. Mengharapkan bantuan pemerintah atau protes agar mereka tak menghimpit sekolah swasta dengan menambah sekolah negri seperti berteriak di padang belantara.
Mengapa kita tak mulai dengan mengandalkan diri sendiri? Kita membangun jaringan dengan uamt katolik lewat Gereja. Bukan dengan minta Gereja memaksa atau membujuk orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah katolik, tapi dengan duduk bersama. Kita bertanya pada orang tua katolik ingin anaknya menjadi apa dengan sekolah? Apakah harapan itu akan mereka peroleh lewat sekolah negri? Kalau tidak pendidikan macam apa yang dapat kita berikan? Mari kita bekerjasama. Sudah tentu dukungan pastor perlu, tapi juga sikap sekolah lebih penting lagi. Apakah sekolah mau mendengarkan harapan, kesulitan orangtua, guru. Saya melihat beberapa paroki yang melakukan hal ini membuat sekolah katolik bisa hidup dan berkembang. Masalahnya bukan masalah ekonomi membuat sekolah itu tetap hidup, tapi dengan sekolah itu kita dapat merancangkan kegiatan belajar mengajar dan penanaman karakter sesuai dengan yang kita harapkan. Inilah salah satu bentuk komunitas basis yang mampu mandiri tanpa perlu mengharapkan belaskasih lembaga besar yang tak kenal belaskasih.
Kita juga dapat membangun komunitas basis dalam sebuah stasi atau paroki pedalaman. Antara lain dengan mengajak masyarakat untuk membangun koperasi sehingga mereka tak perlu menjadi kurban “bank titil” atau pengecer dan tukang kredit yang menghisap uang mereka. Dengan koperasi mereka bisa membeli barang secara grosir dan menjual kepada warga dengan sedikit keuntungan. Koperasi juga mengajar mereka untuk mengatur keuangan mereka, yang menjadi dasar untuk mengatur kehidupan mereka.
Dalam lampiran anda juga dapat melihat komunitas basis alternatif yang inspiratif.
LAMPIRAN
PESANTREN SUMBER PENDIDIKAN MENTAL AGAMA ALLAH(SPMAA) – LAMONGAN
Pesantren ini didirikan oleh Mohamad Muctar, orang kaya dan tuan tanah di desa Turi, Lamongan karena prihatin dengan situasi bangsa yang merosot akhlaknya karena melalaikan Tuhan. Konon pak Muctar mendapat pengalaman gaib berjumpa dengan nabi Isa. Selain pesantren putra putri sebenarnya lembaga ini punya berbagai pelayanan: pendidikan mulai PAUD sampai SMU, Panti Asuhan, Panti Wredha (Lansia), Kunjungan dan pelayanan lansia di rumah mereka dll. Mereka hidup sederhana dengan banyak doa, belajar, bekerja dan melayani. Berikut adalah kutipan kisah seorang suster PK yang live-in di pesantren ini.
1. Penerimaan situasi dan keadaan mereka dalam kekurangan dan keterbatasan.
Selama live In kami menjadi bagian dari Pondok Pesantren, kami terlibat secara langsung dengan kehidupan para Santri. Saya melihat dan mendengar sharing-sharing tentang bagaimana mereka dengan ikhlas menerima situasi hidup yang sangat sederhana baik dalam hal makanan, tempat tinggal dan sarana-sarana. Setiap hari Senin dan Kamis mereka wajib berpuasa, dan setiap hari makan hanya 2 kali, itupun dengan menu yang sangat sederhana. Begitupun dengan tempat tinggal, mereka tidur beralaskan tikar, tanpa kasur apalagi tempat tidur, tidak pernah melihat televisi dan mendengar radio, serta tidak pernah jalan keluar pondok, hidup mereka hanya untuk beribadah-belajar dan bekerja. Tetapi mereka menerima semuanya secara ikhlas dan yakin bahwa ini adalah jalan menuju kesucian dan kebahagiaan hidup diakhirat.
Sharing-sharing mereka ini membuat hati saya terusik, terlebih soal gaya hidup, makanan dan sarana-sarana. Di komunitas makanan berlimpah, tempat tinggal nyaman, ada waktu rekreasi serta tersedia sarana-sarana yang mendukung perkembangan pribadi dan pelayanan. Namun kadang saya tidak bersyukur bahkan mengeluh. Saya tidak sungguh-sungguh memanfaatkannya sebagai sarana pengembangan diri dan kadang tidak menyadari bahwa semua kenyamanan itu membuat saya menjadi pribadi yang kurang tekun dalam memaknai semuanya itu sebagai kasih Allah yang selalu mencukupi. Saya disadarkan bahwa di dunia ini ada orang-orang muda yang dengan sadar menjalani hidup demi nilai-nilai agama yang diyakini akan membawa mereka kepada keselamatan dunia akhirat. Askese dan matiraga menjadi jalan yang dipilih dan disetiai sebagai sarana untuk membentengi diri dari segala godaan hidup yang menyesatkan.
2. Mengutamakan orang lain
Cara mereka melayani dan memberi dengan tulus menumbuhkan dalam hatiku semangat untuk terbuka belajar dari mereka. Bahkan mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberi yang terbaik kepada para tamu yang datang. Kami ditempatkan dirumah yang terbaik diantara rumah-rumah lainnya yang mereka miliki, kami dijamu dengan makanan terbaik dibandingkan dengan apa yang mereka nikmati untuk diri sendiri.
Suatu hari ketika kami membantu memasak di dapur, pondok pesanten ini belanja ayam, kami melihat bahwa Bu Maryati (istri Gus Kosi’in) memilah-milah ayam, yang ukurannya agak besar untuk santri putra, yang ukuran sedang untuk santri putri sedangkan sayap dan ukuran kecil-kecil untuk keluarga Dalem (sebutan untuk keluarga Pak Guru).
Dalam segala hal mereka tidak pernah mengambil yang terbaik , mereka selalu memberi yang terbaik untuk sesama yang lebih membutuhkan. Sedangkan untuk mereka sendiri mereka mengatakan cukup bahagia dengan yang ada. Memberi itu lebih mulia daripada menerima. Memberi juga bagian dari ajaran agama yang pahalanya adalah kebahagiaan abadi diakhirat.
Pengalaman ini mengajar kami bagaimana memberi yang terbaik untuk orang-orang yang dilayani. Berani dengan tulus dan total memberikan apa saja yang dimiliki untuk orang lebih membutuhkan. Pengalaman ini juga menantang saya yang seringkali tidak sungguh-sungguh dalam memberi bahkan dengan sikap terpaksa dan ala kadarnya.
3. Kasih kepada sesama
Walaupun dengan gaya hidup yang sangat sederhana Pondok Pesantren ini menunjukkan semangat berbaginya dengan merawat orang orang tua dalam panti Wreda Kasih, orang-orang gila dan anak yatim piatu. Ajaran pak Guru untuk membagikan apa yang dimiliki kepada fakir miskin menjadi sebuah pola penanaman nilai yang cukup berhasil. Anak cucu Pak Guru memberi teladan nyata dalam hal ini. Mereka selalu membagi apa yang mereka miliki dengan presentasi 25% untuk keluarga dan 75% untuk fakir miskin.
Yang paling dapat dirasakan adalah bahwa para Santri juga dikader untuk menjadi tenaga-tenaga penyayang umat yang mampu mengasihi dan menjadi saksi kebaikan agama Islam di tengah masyarakat dengan cara membina mereka untuk juga berbagi kasih dengan sesama terutama dengan mereka yang menderita.
Saya begitu terharu melihat cara Pondok ini menghayati agama dan menjadikan nilai-nilai kasih sebagai jalan menuju akhirat.
Sebagai seorang Puteri Kasih melihat cara hidup yang demikian ini membuka kesadaran baru bahwa jalan KASIH bukan hanya milik umat Katolik, tetapi juga menjadi jalan agama Islam dalam mengejar keselamatan. Saya kemudian di perbaharui dalam cara pandang, dan tertantang untuk semakin baik lagi dalam melayani, dalam cara saya berbagi, dalam menularkan nilai-nilai Injili dan nilai Vinsensian. Dari sini saya belajar untuk juga memiliki semangat yang sama, siap sedia membagikan apa yang saya miliki dengan penuh kasih baik kemampuan, waktu, tenaga dan materi untuk orang-orang yang saya layani. Bahkan memberi yang terbaik untuk Orang-orang Miskin, untuk Serikat dan untuk Tuhan.
4. Hidup rohani
Mereka solat 8 kali sehari mulai pk 2.30 subuh. Para Santri terbuka saat kami mengikuti semua kegiatan antara lain : pengajian, pelajaran Pesantren, tafsir Hadis dan tafsir Al’quran. Saya bersyukur karena hal ini menjadi pengalaman yang menanbah wawasan dan kesadaran baru. Waktu kami sebagian besar berada di Mesjid. Kami mengikuti acara-acara sholat, pengajian, tafsir Hadis dan tafsir Al’quran, serta pelajaran Pesantren. Mereka begitu terbuka dan tidak merasa risih dengan kehadiran kami, bahkan mereka membantu kami dalam acara-acara yang tidak kami ketahui. Setiap pertanyaan kami selalu dijawab dengan antusias dan jujur.
PENGUSAHA PERUMAHAN MEWAH PESONA DEPOK DAN PESONA KHAYANGAN
H. Fauzi Saleh hanyalah lulusan SMP yang merasakan kerasnya hidup di ibu kota. Begitu lulus SMP dia bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel, kemudian menjadi penjaga gudang. Dia punya usaha sampingan sebagai tukang taman. Dari usaha ini dia dapat menabung sejumlah uang yang kemudian dibelikan tanah. Bersama beberapa temannya dia membangun rumah di atas tanah itu. Setelah jadi rumah itu dijual dengan keuntungan lumayan yang dijadikan modal untuk membeli tanah dan membangun rumah. Dia banyak berdoa bersama teman-temannya dan berzikir setiap malam Jum’at serta bekerja keras untuk membangun rumah yang terus laku dijual. Kini 30 tahun kemudian di usia 45 tahun dia telah menjadi pengusaha yang membangun ratusan rumah mewah dengan 100 karyawan tetap dan 2000 buruh. Yang menarik Fauzi memperlakukan karyawan dan buruhnya sebagai sahabat dan sangat murah hati. Setiap tahun mereka mendapat 22 bulan gaji. Pada ulang tahunnya yang ke 45 ia memberikan hadiah 50 unit mobil kepada karyawan tetapnya dan bonus sebulan gaji kepada 2000 buruhnya. Fauzi tak pernah meninggalkan doa. Setiap malam jumat ia mengadakan doa yang setia dilakukan sejak dia masih miskin bersama teman-temannya. Dan sebulan sekali dia mengadakan pengajian akbar yang disebut Pesona Zikir yang dihadiri seluruh karyawan, buruh dan keluarganya. Ia mengatakan : “Ini semua dari Allah. Saya tidak ada apa-apanya.”Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, selebihnya digunakan untuk modal usaha. Dia sendiri hanya mengambil sedikit untuk hidup sederhana bersama istri dan 6 orang anaknya: “Saya hanya mengambil sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan kegiatan sosial”. (diringkas dari buku Donald Lantu dkk, Servant Leadership, Gradien Books, Yogyakarta, hlm 60-62)
[1] BA Pareira, Nabi-Nabi Perintis – Pengantar Kitab Kitab Kenabian Bagian 1, LBI, Kanisius 1985 hlm 14. Buku ini sangat jelas mengulas Kenabian dalam bangsa Israel (Kitab Suci). Lihat juga “Prophet” dalam Xavier Leon Dufour, Dictionary of Biblical Theology- updated second edition, Saint Paul Publication, 1990.
[2] BA Pareira, Op.Cit., hlm 72.
[3] Salah satu kisah yang jelas menunjukkan ini adalah perdebatan Amazia dengan Amos (Am 7:10-17).
[4] 1Sam 7:5; 12:19,23; 1 Raj 13:6; 2 Raj 13:6; 2Raj 4:33; 6:17-18; Yer 7:6; 42:2,4,20; 2 Mak 15:4
[5] Xavier Leon Dufour, Op.Cit., hlm 469
[6] Robert K. Greenleaf, Seeker and Servant- Reflections on Religious Leadership, Jossey Bass Publishers, San Fransisco 1996.
[7] Robert K. Greenleaf, The Servant Leader – A Transformative Path, Paulist Press, New Jersey 2003, 43-68
[8] Stephen Covey, The Leader in Me – Kisah Sukses Sekolah dan Pendidik Menggali Potensi Terbesar Setiap Anak, Gramedia Jakarta 2009.
[9] Ibid, hlm 49
[10] Saya yakin kalau kita sungguh memperhatikan kaum muda dan memancarkan peran kenabian, kita juga akan menarik mereka ke dalam panggilan religius kita yang akhir-akhir ini semakin berkurang.
[11] Ini dilakukan oleh kelompok mahasiswa di beberapa perkampungan miskin di Malang. Hal yang sama-mulai dengan memperhatikan anak dan kaum muda- juga dilakukan oleh romo Pedro Opeka CM yang menggerakkan orang miskin membangun kehidupan mereka hingga berhasil membangun perumahan untuk 17 000 orang di Akamasoa pinggiran Tananarive ibukota Madagaskar. Lih. Robert Maloney dkk, Seeds of Hope – Stories of Systemic Change, Vincentian Family’s Commission for Promoting Systemic Change, 2008.
Source : FB Koptari Indonesia
BERITA DARI SEKRETARIAT KOPTARI
07.42
MPG
No comments
BERITA DARI SEKRETARIAT KOPTARI
KOnferensi Pemimpin TArekat Religius Indonesia (KOPTARI) telah menyelenggarakan Sidang Pleno pada tanggal 12 – 18 Oktober 2011 di Surabaya, dengan tema “Panggilan Religius untuk Menjadi Mistikus dan Nabi di Tengah Dunia”. Sidang ini dihadiri oleh 104 orang Pemimpin dan Utusan Tarekat Religius dan Institut Sekulir dari seluruh Indonesia. KOPTARI menetapkan tema Sidang dengan menelusuri tema-tema Sidang Pleno sebelumnya tentang “Gender” (2005), “Passion or Christ, Passion for Humanity” (2008), dan menimbang tema-tema yang diangkat dalam pertemuan-pertemuan Gerejani di tingkat Nasional maupun Internasional seperti Sidang KWI, Sidang FABC (Federation Asian Bishop Conference) dan Sidang UISG (International Union of Superiors General) seputar masa depan Gereja, terutama Hidup Bakti yang terletak dalam perjalanan menghidupi kerinduan akan perjalanan mistik dan kenabian. Identitas Religius mau lebih ditegaskan lagi dalam kerangka perjalanan bersama Allah. Itu berarti selalu harus kembali pada relasi yang akrab-mesra dengan Allah, yang kemudian diwujudkan dalam pelayanan-pelayanan cintakasih nyata yang profetik.
Sidang Pleno yang diselenggarakan setiap tiga tahun ini merupakan kekuasaan tertinggi KOPTARI. Sidang Pleno menjadi kesempatan bagi para Pemimpin Tarekat untuk “review”, melihat kembali fokus hidup-panggilan-perutusan sebagai Religius, mendengarkan Laporan-laporan, sharing, mengadakan evaluasi dan refleksi bersama untuk menyusun rencana tiga tahun ke depan, memilih Badan Pengurus KOPTARI, IBSI, MASI, dan MABRI yang baru. Tiap orang dengan keunikannya dapat menyumbangkan diri (nemo dat quod non habet), dalam bekerjasama memajukan panggilan hidup Religius demi Ordo/Kongregasi, Gereja, dan bangsa.
Sidang Pleno dirangkai dalam suatu kesatuan alur acara Rekoleksi, Konferensi, Refleksi dalam level pribadi – kelompok Fraksi – dan Pleno, penggalian pengalaman, pembahasan Statuta dan urusan organisasi untuk memilih Badan Pengurus KOPTARI dan Fraksi, sight seeing kota Surabaya, yang kemudian ditutup dengan menyusun “action plan” berupa pernyataan bersama serta mandat Sidang pada Pengurus KOPTARI, Fraksi, dan Tarekat. Demikian peserta dibawa berproses dalam tiga langkah: 1) menggali pengalaman hidup sebagai Religius dalam konteks nyata situasi “dunia”, “negara/bangsa/masyarakat Indonesia”, hidup dalam Gereja Universal dan Lokal; 2) refleksi yang berdasar pada kepekaan dalam membaca tanda-tanda zaman dan berfokus pada pokok-pokok keprihatinan untuk tiga tahun mendatang yang dikemas dalam tema “sisi hidup menjadi mistikus dan fungsi kenabian”; dan 3) aksi berupa program-program kegiatan yang dirancang bersama dan akan terus dievaluasi demi pengembangan mutu kegiatan.
Dalam pernyataan bersama itu ditegaskan pula “action plan” yang akan dilakukan bersama, yakni: 1) Membangun kerjasama dengan pelbagai pihak; 2) Mengembangkan kegiatan-kegiatan bersama dalam pembinaan kaum muda, pendampingan kaum migran dan kaum miskin, perlindungan kurban woman trafficking, penyelamatan lingkungan hidup. Implementasi dari pernyataan bersama itu kemudian dituangkan berupa rekomendasi Sidang Pleno pada Badan Pengurus KOPTARI, Fraksi-fraksi (MASI, IBSI, dan MABRI), dan pada Lembaga Hidup Bakti (Ordo/Kongregasi dan Institut Sekulir).
Keseluruhan acara Sidang sangat kental ditandai oleh suasana kekerabatan khas religius. Banyak kesadaran baru terkuak antara lain lebih mengenal apa itu KOPTARI, MASI, IBSI, dan MABRI, pentingnya memperhatikan dan lebih meningkatkan lagi keaktifan dalam menanggapi komunikasi-komunikasi serta himbauan yang dikirimkan dari Sekretariat KOPTARI, perlunya kekompakan dan gerakan bersama untuk membuat eksistensi KOPTARI lebih terasakan, dan pentingnya menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain baik yang bersifat gerejani maupun non gerejani, dengan pemerintah dan masyarakat sipil lainnya, dalam menjawab kebutuhan dan persoalan zaman.
Jakarta, 20 Oktober 2011
Sr. Petronella Lie, SCMM
(Sekretaris Eksekutif)
source : FB KOPTARI Indonesia
KOPTARI Indonesia
07.42
MPG
No comments
KOPTARI Indonesia
in Meeting with the Nuncio on Feb 24, 2012
Sr. Susanna OSF, Sr. Immaculae PBHK, Sr. Anna Marie PI, Fr. Sunarko OFM, Bro. Antonius Karyadi FIC, Bro. Lukas CSA, Fr. Andreas Madya SCJ, Sr. Paula ADM, Fr. Riyo SJ, the Nuntius, Sr.Petronella Lie SCMM, Sr. Lusia OP, Sr. Adriana SFD, Fr. Rolly Untu MSC, Bro. Alex BM, Sr. Justien Tiwow JMJ — with Antonio Guido Filipazzi Arcivescovo Community
Source : FB
WAJIBKAH AKU MENJADI ANGGOTANYA ? (WKRI,Pemuda Katolik,OMK,KIK etc )
07.26
MPG
No comments
WAJIBKAH AKU MENJADI
ANGGOTANYA ?
Kadang dari ketidakmengertian, orang lalu salah mengambil keputusan. Lebih parah lagi ketika orang-orang menghidupi kekeliruan mereka sebagai sebuah kebenaran dan mempertahankannya.
Inilah yang terjadi dalam pikiran banyak orang Katolik terhadap keanggotaan mereka dalam kelompok organisasi dan kategorial dalam Gereja Katolik.
Karena itu, di pagi ini kuinformasikan apa yang seharusnya Anda perbuat sebagai orang Katolik di Paroki mana pun Anda berada;
1) Kelompok Organisasi seperti WKRI dan PEMUDA KATOLIK;
Adalah organisasi kemasyarakatan yang menggunakan lebel atau nama KATOLIK. Karena itu, walaupun orientasi organisasi ini tertuju pada kehidupan sosial-kemasyarakatan, tapi karena penggunaan nama Katolik maka ada ikatan khusus dengan Gereja (Hirarki) yang tidak bisa disepelekan atau dipisahkan. Gereja (Hirarki) menghormati segala bentuk dinamika atau ADRT organisasi tersebut, namun karena nama Katoliknya maka tetap harus ada campur tangan pihak hirarki dalam bentuk penemanan dan pendampingan.
Sikap Umat Katolik; Umat Katolik, terutama ibu-ibu dan orang muda yang berminat untuk belajar berorganisasi dan berpolitik boleh menjadi anggotanya. Sedangkan bagi umat yang tidak mau bergabung bukan juga dilihat sebagai sebuah kekeliruan apalagi kesalahan.
2) Kelompok Kategorial seperti SEKAMI, REMAJA KATOLIK, OMK, KBK (Kaum Bapa Katolik) dan KIK (Kaum Ibu Katolik) ;
Adalah kelompok kategorial yang WAJIB bagi semua orang Katolik dalam kelompok umur. Kelompok-kelompok ini memudahkan para pelayan rohani untuk memberi pelayanan sesuai dengan karakter umur umat tersebut.
Sikap Umat Katolik; Semua umat Katolik WAJIB menjadi anggotanya tanpa kecuali. Ini bukan kelompok pilihan bagi umat. Semua umat Katolik harus bergabung menjadi anggota tanpa alasan atau syarat.
3) Kelompok Kategorial DOA seperti APOSTOLAT, KARISMATIK, LEGIO MARIA, KERAHIMAN ILAHI dan lain-lainnya;
Adalah kelompok doa yang diizinkan oleh otoritas Gereja setempat (misalnya Keuskupan) untuk menjadi pilihan bagi umat Katolik demi mengembangkan imannya. Ini berarti bahwa ajaran dan praktek doa kelompok-kelompok tersebut telah dipelajari oleh otoritas Gereja (Uskup) dan dirasa bahwa manfaatnya sangat besar bagi umat terutama dalam meningkatkan kehidupan rohani mereka. Karena itu, kepada umat dianjurkan untuk menjadi anggotanya tanpa paksaan.
Sikap Umat Katolik : Setiap umat boleh memilih untuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok doa ini atau tidak. Apa yang paling penting bahwa ketika Anda memilih satu kelompok doa maka tidak berarti kelompok doa lain itu jelek dan harus disingkirkan. Semua kelompok doa ketika sudah diizinkan oleh Uskup Diosis maka terbuka bagi semua umat untuk menjadi anggotanya tanpa adanya sikap mempersalahkan kelompok doa lainnya. Bagaikan kembang yang berwarna-warni yang membentuk sebuah pot bunga yang indah, demikian pun fungsi kelompok-kelompok doa di dalam Gereja Katolik.
4) Kelompok Doa dari KRISTEN LAIN (PROTESTAN);
Umat Katolik DILARANG untuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok doa dari Kristen lain (Protestan). Umat Katolik hanya bisa mengikuti kegiatan doa mereka seperti KKR dan doa lainnya dalam rangka/bingkai EKUMENE. Di luar kegiatan ekumene, umat Katolik tidak diizinkan untuk mengikutinya apalagi menjadi anggotanya. Lebih parah lagi terjadi ketika orang tua mengizinkan anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan kerohanian dari gereja/denominasi lain tanpa penjelasan yang memadai.
Sikap Umat Katolik : Tetap menghormati keberadaan kelompok-kelompok doa dari Kristen lain (Protestan) tapi bukan berarti harus mengikuti apalagi menjadi anggotanya. Dalam soal iman, biarlah Anda meminum obat yang pahit tapi menyembuhkan, daripada susu yang terasa racun dari para penghancur imanmu. Bukankah Yesus sudah mengingatkan; "Akan ada banyak nabi palsu yang datang seakan-akan diutus oleh-Nya, padahal ajaran mereka bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan diteruskan/diwariskan oleh Gereja Katolik, satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Yesus di dunia di atas wadas/Batu Karang Petrus.
Demikianlah beberapa hal yang ingin kusampaikan tentang keberadaan kelompok organisasi Katolik maupun kelompok kategorial (doa) di dalam Gereja Katolik, serta kelompok lainnya
Semoga bermanfaat bagi umat Katolik.
Salam dan doa dari seorang sahabat untuk para sahabatnya,
***Rinnong - Duc in Altum***
Kadang dari ketidakmengertian, orang lalu salah mengambil keputusan. Lebih parah lagi ketika orang-orang menghidupi kekeliruan mereka sebagai sebuah kebenaran dan mempertahankannya.
Inilah yang terjadi dalam pikiran banyak orang Katolik terhadap keanggotaan mereka dalam kelompok organisasi dan kategorial dalam Gereja Katolik.
Karena itu, di pagi ini kuinformasikan apa yang seharusnya Anda perbuat sebagai orang Katolik di Paroki mana pun Anda berada;
1) Kelompok Organisasi seperti WKRI dan PEMUDA KATOLIK;
Adalah organisasi kemasyarakatan yang menggunakan lebel atau nama KATOLIK. Karena itu, walaupun orientasi organisasi ini tertuju pada kehidupan sosial-kemasyarakatan, tapi karena penggunaan nama Katolik maka ada ikatan khusus dengan Gereja (Hirarki) yang tidak bisa disepelekan atau dipisahkan. Gereja (Hirarki) menghormati segala bentuk dinamika atau ADRT organisasi tersebut, namun karena nama Katoliknya maka tetap harus ada campur tangan pihak hirarki dalam bentuk penemanan dan pendampingan.
Sikap Umat Katolik; Umat Katolik, terutama ibu-ibu dan orang muda yang berminat untuk belajar berorganisasi dan berpolitik boleh menjadi anggotanya. Sedangkan bagi umat yang tidak mau bergabung bukan juga dilihat sebagai sebuah kekeliruan apalagi kesalahan.
2) Kelompok Kategorial seperti SEKAMI, REMAJA KATOLIK, OMK, KBK (Kaum Bapa Katolik) dan KIK (Kaum Ibu Katolik) ;
Adalah kelompok kategorial yang WAJIB bagi semua orang Katolik dalam kelompok umur. Kelompok-kelompok ini memudahkan para pelayan rohani untuk memberi pelayanan sesuai dengan karakter umur umat tersebut.
Sikap Umat Katolik; Semua umat Katolik WAJIB menjadi anggotanya tanpa kecuali. Ini bukan kelompok pilihan bagi umat. Semua umat Katolik harus bergabung menjadi anggota tanpa alasan atau syarat.
3) Kelompok Kategorial DOA seperti APOSTOLAT, KARISMATIK, LEGIO MARIA, KERAHIMAN ILAHI dan lain-lainnya;
Adalah kelompok doa yang diizinkan oleh otoritas Gereja setempat (misalnya Keuskupan) untuk menjadi pilihan bagi umat Katolik demi mengembangkan imannya. Ini berarti bahwa ajaran dan praktek doa kelompok-kelompok tersebut telah dipelajari oleh otoritas Gereja (Uskup) dan dirasa bahwa manfaatnya sangat besar bagi umat terutama dalam meningkatkan kehidupan rohani mereka. Karena itu, kepada umat dianjurkan untuk menjadi anggotanya tanpa paksaan.
Sikap Umat Katolik : Setiap umat boleh memilih untuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok doa ini atau tidak. Apa yang paling penting bahwa ketika Anda memilih satu kelompok doa maka tidak berarti kelompok doa lain itu jelek dan harus disingkirkan. Semua kelompok doa ketika sudah diizinkan oleh Uskup Diosis maka terbuka bagi semua umat untuk menjadi anggotanya tanpa adanya sikap mempersalahkan kelompok doa lainnya. Bagaikan kembang yang berwarna-warni yang membentuk sebuah pot bunga yang indah, demikian pun fungsi kelompok-kelompok doa di dalam Gereja Katolik.
4) Kelompok Doa dari KRISTEN LAIN (PROTESTAN);
Umat Katolik DILARANG untuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok doa dari Kristen lain (Protestan). Umat Katolik hanya bisa mengikuti kegiatan doa mereka seperti KKR dan doa lainnya dalam rangka/bingkai EKUMENE. Di luar kegiatan ekumene, umat Katolik tidak diizinkan untuk mengikutinya apalagi menjadi anggotanya. Lebih parah lagi terjadi ketika orang tua mengizinkan anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan kerohanian dari gereja/denominasi lain tanpa penjelasan yang memadai.
Sikap Umat Katolik : Tetap menghormati keberadaan kelompok-kelompok doa dari Kristen lain (Protestan) tapi bukan berarti harus mengikuti apalagi menjadi anggotanya. Dalam soal iman, biarlah Anda meminum obat yang pahit tapi menyembuhkan, daripada susu yang terasa racun dari para penghancur imanmu. Bukankah Yesus sudah mengingatkan; "Akan ada banyak nabi palsu yang datang seakan-akan diutus oleh-Nya, padahal ajaran mereka bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan diteruskan/diwariskan oleh Gereja Katolik, satu-satunya Gereja yang didirikan oleh Yesus di dunia di atas wadas/Batu Karang Petrus.
Demikianlah beberapa hal yang ingin kusampaikan tentang keberadaan kelompok organisasi Katolik maupun kelompok kategorial (doa) di dalam Gereja Katolik, serta kelompok lainnya
Semoga bermanfaat bagi umat Katolik.
Salam dan doa dari seorang sahabat untuk para sahabatnya,
***Rinnong - Duc in Altum***
Jumat, 22 Januari 2016
Pater Jean Berthier MS. Pendiri Tarekat MSF
06.57
MPG
No comments
Pater Jean Berthier MS. Pendiri Tarekat MSF
Masa Kanak-Kanak
Jean Berthier lahir pada tgl. 24 Februari 1840 di Châtonnay, sebuah desa kecil di Dauphiné, sebagai anak sulung dari sebuah keluarga petani sederhana. Dari ayahnya ia mewarisi semangat ketekunan dan kemauan yang kuat, yang tampak dalam sikapnya di kemudian hari. Dari ibunya Jean mewarisi kebaikan penuh kasih. Ibu adalah seorang perempuan yang menghayati secara mendalam hidup keagamaannya, yang memberi pendidikan katolik secara baik kepada anak-anaknya. Di kemudian hari Jean berkata: “Saya berpikir bahwa satu dari rahmat terbesar yang Tuhan berikan kepadaku adalah seorang ibu yang saleh. Dia menegur, dia membina saya dan tidak membiarkan saya melakukan sesuatu yang negatif. Ibuku mengerti bahwa ia pertama-tama adalah seorang katolik, dan baru kemudian seorang ibu, dan bahwa tugasnya yang paling penting adalah: menjadikan saya seorang pengikut Kristus.”
Ayah dari Berthier bangga dengan anak sulungnya yang sangat pandai dan rajin. Oleh sebab itu ia ingin putranya menerima pendidikan yang baik. Tidak boleh dilewatkan barang sehari-pun tanpa pergi ke sekolah. Maka selama bulan-bulan musim dingin, ketika banyak salju di jalan, ayah sering memanggul Jean ke sekolah. Selama musim dingin ia mengajar Jean membaca Kitab Suci dan mengucapkan dengan betul nama-nama yang sukar. Oleh karena daya ingatnya luar biasa Jean mampu mengingat teks-teks yang panjang, dan karena alasan itu romo paroki memintanya membawakan di luar kepala Kisah Sengsara di gereja selama pekan suci. Waktu itu Jean baru berumur 9 tahun!
Pada akhir kelas enam di Sekolah Dasar romo paroki mengusulkan akan memberikan kepada Jean dan kepada beberapa teman sekelasnya, yang semua telah menjadi putra altar, satu tahun pendidikan khusus sebagai persiapan bagi seminari menengah. Ayahnya berkeberatan, sebab untuk masa depan Jean, keinginannya hanya satu: Jean harus selekas mungkin mulai membantu bapanya dalam usaha pertanian, agar di kemudian hari ia menjadi seorang petani yang sukses. Tetapi romo paroki dan ibunya membujuk ayahnya untuk membiarkan Jean mengikuti tahun persiapan khusus itu. Lagi pula segala waktu kosong di sekolah mau dipakai Jean untuk melaksanakan tugasnya sebagai anak sulung, yakni membantu ayahnya di ladang.
Bersama dengan pastor pembantu, pastor kepala paroki membimbing para calon seminaris ini dengan program sangat intensif, dengan materi yang biasanya diberikan pada tahun-tahun pertama di seminari. Ini adalah salah satu usaha dari pastor paroki untuk mempromosikan panggilan bagi imamat. Selama 46 tahun bekerja sebagai pastor paroki di Châtonnay sekitar 30 imam dan hampir 60 orang suster muncul dari paroki itu. Ketika tahun persiapan itu hampir selesai, si ayah harus diyakinkan bahwa sebaiknya ia memberi ijin kepada Jean untuk mengikuti keinginannya, yakni masuk seminari. Ibu sangat menolong dan berkat dorongan yang kuat dan terus-menerus dari pastor paroki akhirnya ayah menyerah.
Jean Berthier lahir pada tgl. 24 Februari 1840 di Châtonnay, sebuah desa kecil di Dauphiné, sebagai anak sulung dari sebuah keluarga petani sederhana. Dari ayahnya ia mewarisi semangat ketekunan dan kemauan yang kuat, yang tampak dalam sikapnya di kemudian hari. Dari ibunya Jean mewarisi kebaikan penuh kasih. Ibu adalah seorang perempuan yang menghayati secara mendalam hidup keagamaannya, yang memberi pendidikan katolik secara baik kepada anak-anaknya. Di kemudian hari Jean berkata: “Saya berpikir bahwa satu dari rahmat terbesar yang Tuhan berikan kepadaku adalah seorang ibu yang saleh. Dia menegur, dia membina saya dan tidak membiarkan saya melakukan sesuatu yang negatif. Ibuku mengerti bahwa ia pertama-tama adalah seorang katolik, dan baru kemudian seorang ibu, dan bahwa tugasnya yang paling penting adalah: menjadikan saya seorang pengikut Kristus.”
Ayah dari Berthier bangga dengan anak sulungnya yang sangat pandai dan rajin. Oleh sebab itu ia ingin putranya menerima pendidikan yang baik. Tidak boleh dilewatkan barang sehari-pun tanpa pergi ke sekolah. Maka selama bulan-bulan musim dingin, ketika banyak salju di jalan, ayah sering memanggul Jean ke sekolah. Selama musim dingin ia mengajar Jean membaca Kitab Suci dan mengucapkan dengan betul nama-nama yang sukar. Oleh karena daya ingatnya luar biasa Jean mampu mengingat teks-teks yang panjang, dan karena alasan itu romo paroki memintanya membawakan di luar kepala Kisah Sengsara di gereja selama pekan suci. Waktu itu Jean baru berumur 9 tahun!
Pada akhir kelas enam di Sekolah Dasar romo paroki mengusulkan akan memberikan kepada Jean dan kepada beberapa teman sekelasnya, yang semua telah menjadi putra altar, satu tahun pendidikan khusus sebagai persiapan bagi seminari menengah. Ayahnya berkeberatan, sebab untuk masa depan Jean, keinginannya hanya satu: Jean harus selekas mungkin mulai membantu bapanya dalam usaha pertanian, agar di kemudian hari ia menjadi seorang petani yang sukses. Tetapi romo paroki dan ibunya membujuk ayahnya untuk membiarkan Jean mengikuti tahun persiapan khusus itu. Lagi pula segala waktu kosong di sekolah mau dipakai Jean untuk melaksanakan tugasnya sebagai anak sulung, yakni membantu ayahnya di ladang.
Bersama dengan pastor pembantu, pastor kepala paroki membimbing para calon seminaris ini dengan program sangat intensif, dengan materi yang biasanya diberikan pada tahun-tahun pertama di seminari. Ini adalah salah satu usaha dari pastor paroki untuk mempromosikan panggilan bagi imamat. Selama 46 tahun bekerja sebagai pastor paroki di Châtonnay sekitar 30 imam dan hampir 60 orang suster muncul dari paroki itu. Ketika tahun persiapan itu hampir selesai, si ayah harus diyakinkan bahwa sebaiknya ia memberi ijin kepada Jean untuk mengikuti keinginannya, yakni masuk seminari. Ibu sangat menolong dan berkat dorongan yang kuat dan terus-menerus dari pastor paroki akhirnya ayah menyerah.
Perjalanan Menuju Imamat
Jean berumur 13 tahun ketika ia bersama teman-temannya dari Châtonnay masuk seminari menengah di keuskupan Grenoble. Para pengajarnya begitu terkesan akan kemampuan Berthier kecil dan akan hasil yang baik dari tahun persiapan di desa kelahirannya sehingga ia langsung dimasukkan ke kelas tiga. Bulan-bulan pertama menjadi masa yang sangat sulit baginya. Ia rindu kampung halamannya. Ia juga harus mengejar banyak sekali bahan pelajaran, sehingga hampir kehilangan harapan untuk bisa meneruskan program itu. Tetapi otaknya yang baik dan daya kemauannya yang keras membantu untuk mengatasi krisis itu, dan pada akhir tahun ia mencapai ranking yang tinggi.
Di seminari ia belajar mata pelajaran yang paling penting, yakni bahasa Latin dan bahasa Perancis, sedemikian baik, sehingga sepanjang hidupnya ia dapat menggunakan kedua bahasa itu tanpa kesalahan. Selain itu ia sangat tertarik pada ilmu tumbuh-tumbuhan, suatu ketertarikan yang dia bawa selama hidupnya dan ia bagikan dengan gembira pada murid-muridnya. Sering kali ia dapat memandang suatu bunga atau suatu tanaman dengan rasa kagum, dan ia bersyukur pada Sang Pencipta untuk semua keindahan itu. Jean adalah seorang seminaris yang serius dan saleh, yang tidak tertarik pada olah raga dan permainan-permainan. Setiap waktu luang dia gunakan untuk membaca. Waktu liburan di rumah selama musim panas dimanfaatkannya untuk membantu ayahnya di ladang. Hari-hari kerja yang panjang ia lalui di ladang, karena selama musim panas banyak hal harus dikerjakan. Maklumlah, pada waktu itu belum ada mesin-mesin pertanian.
Pada tahun 1857 Jean pindah ke Grenoble, di mana ia harus belajar filsafat selama satu tahun, dan kemudian mulai belajar teologi di seminari tinggi. Masa empat tahun di seminari tinggi itu sangat berpengaruh dalam hidup Jean Berthier. Di seminari itu ia diajar oleh beberapa dosen yang sangat kompeten dan juga saleh, dan selama empat tahun itu Jean berhasil mengumpulkan bekal ilmiah dan rohani, yang di kemudian hari sangat berguna bagi dirinya. Ia menuntut banyak dari dirinya, dan yakin bahwa ia harus menjadi seorang imam yang mampu dan saleh, dan untuk itu ia harus meletakkan fondasi yang baik selama di seminari. Kelak pada akhir hidupnya, Pater Berthier berkata: “Sejak belajar di seminari tinggi saya tidak bisa mengerti bagaimana seorang imam dapat membiarkan satu menit tanpa berbuat sesuatu.” Ia sendiri selalu sibuk, tetapi juga mempunyai talenta khusus untuk membagi waktu antara studi dan aktivitas lain dalam satu hari, sehingga satu tugas bisa menjadi suatu variasi bagi tugas yang lain.
Selalu sadar akan tugas-tugasnya di masa depan sebagai imam, Jean mulai mengumpulkan koleksi-koleksi kutipan dari tulisan para Bapa Gereja, dari teolog besar dan pengkhotbah ulung, dan juga contoh-contoh dan cerita-cerita dikumpulkan dan diatur, supaya pada suatu saat di kemudian hari dapat dipakai dalam khotbah-khotbahnya. Dalam arsip MSF di Roma tersimpan kumpulan besar dari catatan-catatan dan bahan praktis untuk khotbah dan katekese. Selama tahun-tahun di seminari ini ia banyak berpikir tentang masa depannya: menjadi imam, ya! Tetapi di manakah dan bagaimana? Selama beberapa tahun di seminari ia mencita-citakan tugas sebagai imam di paroki yang paling miskin dari keuskupan untuk hidup dan bekerja dalam semangat santo pastor dari Ars yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Di lain pihak ia tertarik pada hidup religius yang paling sukar dan keras seperti dipraktikkan oleh para pertapa Kartusian. Selama liburan besar tahun 1861, sebelum tahun terakhir di seminari, ia bersama beberapa teman sekelas berziarah ke La Salette, tempat di mana Bunda Maria 15 tahun sebelumnya menampakkan diri. Jean begitu terkesan oleh kelompok kecil Misionaris La Salette, sehingga ia berkata: “Ke sini aku akan kembali!” Keraguannya tentang masa depannya telah hilang. Segera setelah ujian terakhir di seminari ia langsung pergi ke La Salette dan masuk di biara para Misionaris La Salette.
Jean berumur 13 tahun ketika ia bersama teman-temannya dari Châtonnay masuk seminari menengah di keuskupan Grenoble. Para pengajarnya begitu terkesan akan kemampuan Berthier kecil dan akan hasil yang baik dari tahun persiapan di desa kelahirannya sehingga ia langsung dimasukkan ke kelas tiga. Bulan-bulan pertama menjadi masa yang sangat sulit baginya. Ia rindu kampung halamannya. Ia juga harus mengejar banyak sekali bahan pelajaran, sehingga hampir kehilangan harapan untuk bisa meneruskan program itu. Tetapi otaknya yang baik dan daya kemauannya yang keras membantu untuk mengatasi krisis itu, dan pada akhir tahun ia mencapai ranking yang tinggi.
Di seminari ia belajar mata pelajaran yang paling penting, yakni bahasa Latin dan bahasa Perancis, sedemikian baik, sehingga sepanjang hidupnya ia dapat menggunakan kedua bahasa itu tanpa kesalahan. Selain itu ia sangat tertarik pada ilmu tumbuh-tumbuhan, suatu ketertarikan yang dia bawa selama hidupnya dan ia bagikan dengan gembira pada murid-muridnya. Sering kali ia dapat memandang suatu bunga atau suatu tanaman dengan rasa kagum, dan ia bersyukur pada Sang Pencipta untuk semua keindahan itu. Jean adalah seorang seminaris yang serius dan saleh, yang tidak tertarik pada olah raga dan permainan-permainan. Setiap waktu luang dia gunakan untuk membaca. Waktu liburan di rumah selama musim panas dimanfaatkannya untuk membantu ayahnya di ladang. Hari-hari kerja yang panjang ia lalui di ladang, karena selama musim panas banyak hal harus dikerjakan. Maklumlah, pada waktu itu belum ada mesin-mesin pertanian.
Pada tahun 1857 Jean pindah ke Grenoble, di mana ia harus belajar filsafat selama satu tahun, dan kemudian mulai belajar teologi di seminari tinggi. Masa empat tahun di seminari tinggi itu sangat berpengaruh dalam hidup Jean Berthier. Di seminari itu ia diajar oleh beberapa dosen yang sangat kompeten dan juga saleh, dan selama empat tahun itu Jean berhasil mengumpulkan bekal ilmiah dan rohani, yang di kemudian hari sangat berguna bagi dirinya. Ia menuntut banyak dari dirinya, dan yakin bahwa ia harus menjadi seorang imam yang mampu dan saleh, dan untuk itu ia harus meletakkan fondasi yang baik selama di seminari. Kelak pada akhir hidupnya, Pater Berthier berkata: “Sejak belajar di seminari tinggi saya tidak bisa mengerti bagaimana seorang imam dapat membiarkan satu menit tanpa berbuat sesuatu.” Ia sendiri selalu sibuk, tetapi juga mempunyai talenta khusus untuk membagi waktu antara studi dan aktivitas lain dalam satu hari, sehingga satu tugas bisa menjadi suatu variasi bagi tugas yang lain.
Selalu sadar akan tugas-tugasnya di masa depan sebagai imam, Jean mulai mengumpulkan koleksi-koleksi kutipan dari tulisan para Bapa Gereja, dari teolog besar dan pengkhotbah ulung, dan juga contoh-contoh dan cerita-cerita dikumpulkan dan diatur, supaya pada suatu saat di kemudian hari dapat dipakai dalam khotbah-khotbahnya. Dalam arsip MSF di Roma tersimpan kumpulan besar dari catatan-catatan dan bahan praktis untuk khotbah dan katekese. Selama tahun-tahun di seminari ini ia banyak berpikir tentang masa depannya: menjadi imam, ya! Tetapi di manakah dan bagaimana? Selama beberapa tahun di seminari ia mencita-citakan tugas sebagai imam di paroki yang paling miskin dari keuskupan untuk hidup dan bekerja dalam semangat santo pastor dari Ars yang meninggal beberapa tahun sebelumnya. Di lain pihak ia tertarik pada hidup religius yang paling sukar dan keras seperti dipraktikkan oleh para pertapa Kartusian. Selama liburan besar tahun 1861, sebelum tahun terakhir di seminari, ia bersama beberapa teman sekelas berziarah ke La Salette, tempat di mana Bunda Maria 15 tahun sebelumnya menampakkan diri. Jean begitu terkesan oleh kelompok kecil Misionaris La Salette, sehingga ia berkata: “Ke sini aku akan kembali!” Keraguannya tentang masa depannya telah hilang. Segera setelah ujian terakhir di seminari ia langsung pergi ke La Salette dan masuk di biara para Misionaris La Salette.
Misionaris La Salette
Tidak lama setelah masuk biara, Jean ditahbiskan menjadi imam pada tgl. 20 September 1862, pada umur 22 tahun. Tahun novisiat yang dimulai dua hari sebelumnya harus dilaksanakan selama 3 tahun karena ia sakit beberapa kali selama di novisiat. Ia perlu pergi berkali-kali dari biara di atas gunung yang amat dingin itu untuk memulihkan kesehatannya. Selama periode-periode istirahat itu ia menjadi guru dalam keluarga bangsawan dan membantu di sebuah paroki kecil. Akhirnya pada bulan September 1865, ia boleh mengucapkan profesi pertama dalam Kongregasi MS dan melakukan kembali aktivitas normalnya. Sepanjang hidupnya ia selalu menderita karena kesehatannya yang buruk. Tetapi itu tidak menjadi halangan untuk melakukan jatah pekerjaan dari dua atau tiga imam yang sehat!
Kongregasi Misionaris La Salette didirikan tahun 1852 oleh uskup Grenoble untuk menjamin pelayanan imam bagi para peziarah yang datang ke La Salette selama musim panas. Kelompok imam masih kecil dan khususnya pada akhir pekan datang banyak peziarah yang memerlukan pelayanan pastoral. Kegiatan pelayanan yang tetap adalah: perayaan liturgi penyambutan kedatangan para peziarah, perayaan ekaristi, kisah tentang penampakan lengkap dengan penjelasan, prosesi lilin pada malam hari. Selain itu banyak waktu harus dipakai bagi pelayanan pengakuan dosa dan konsultasi pribadi. Juga pelayanan yang lebih “duniawi” bagi para peziarah yang menginap di La Salette harus dilakukan oleh para pater karena tiada pembantu-pembantu awam.
Sepanjang musim dingin pegunungan La Salette tidak mungkin dikunjungi. Para misionaris ditugaskan untuk meningkatkan dan menyegarkan iman umat melalui semacam retret paroki (misi umat) di wilayah keuskupan Grenoble. Misi umat merupakan kegiatan sangat intensif dalam reksa pastoral di paroki-paroki. Tergantung dari besarnya paroki, para misionaris datang berdua atau bertiga. Tugas mereka ialah berkhotbah dan memberikan ceramah rohani, melakukan perayaan bagi kelompok-kelompok umat yang berbeda (anak-anak, remaja, bapa-bapa, ibu-ibu, dll). Melalui sakramen tobat dan pelajaran katekese para misionaris mengembangkan pemahaman agama dan memperdalam iman. Para Pater harus bekerja keras sepanjang hari selama misi umat. Sering ada begitu banyak permintaan dari paroki-paroki, sehingga setelah misi intensif dan melelahkan di salah satu paroki, para misionaris hanya mempunyai beberapa hari beristirahat, sebelum memulai lagi misi di paroki yang lain. Selain dari misi, ada juga permintaan retret untuk kelompok imam atau suster.
Begitulah hidup Pater Berthier dipenuhi kesibukan pastoral, yang tidak jarang menuntut juga suatu tindak lanjut melalui surat-menyurat dengan orang-orang yang ingin menghidupi panggilan mereka sebagai awam, religius atau imam lebih serius, dan yang menginginkan pengarahan rohani darinya.
Tidak lama setelah masuk biara, Jean ditahbiskan menjadi imam pada tgl. 20 September 1862, pada umur 22 tahun. Tahun novisiat yang dimulai dua hari sebelumnya harus dilaksanakan selama 3 tahun karena ia sakit beberapa kali selama di novisiat. Ia perlu pergi berkali-kali dari biara di atas gunung yang amat dingin itu untuk memulihkan kesehatannya. Selama periode-periode istirahat itu ia menjadi guru dalam keluarga bangsawan dan membantu di sebuah paroki kecil. Akhirnya pada bulan September 1865, ia boleh mengucapkan profesi pertama dalam Kongregasi MS dan melakukan kembali aktivitas normalnya. Sepanjang hidupnya ia selalu menderita karena kesehatannya yang buruk. Tetapi itu tidak menjadi halangan untuk melakukan jatah pekerjaan dari dua atau tiga imam yang sehat!
Kongregasi Misionaris La Salette didirikan tahun 1852 oleh uskup Grenoble untuk menjamin pelayanan imam bagi para peziarah yang datang ke La Salette selama musim panas. Kelompok imam masih kecil dan khususnya pada akhir pekan datang banyak peziarah yang memerlukan pelayanan pastoral. Kegiatan pelayanan yang tetap adalah: perayaan liturgi penyambutan kedatangan para peziarah, perayaan ekaristi, kisah tentang penampakan lengkap dengan penjelasan, prosesi lilin pada malam hari. Selain itu banyak waktu harus dipakai bagi pelayanan pengakuan dosa dan konsultasi pribadi. Juga pelayanan yang lebih “duniawi” bagi para peziarah yang menginap di La Salette harus dilakukan oleh para pater karena tiada pembantu-pembantu awam.
Sepanjang musim dingin pegunungan La Salette tidak mungkin dikunjungi. Para misionaris ditugaskan untuk meningkatkan dan menyegarkan iman umat melalui semacam retret paroki (misi umat) di wilayah keuskupan Grenoble. Misi umat merupakan kegiatan sangat intensif dalam reksa pastoral di paroki-paroki. Tergantung dari besarnya paroki, para misionaris datang berdua atau bertiga. Tugas mereka ialah berkhotbah dan memberikan ceramah rohani, melakukan perayaan bagi kelompok-kelompok umat yang berbeda (anak-anak, remaja, bapa-bapa, ibu-ibu, dll). Melalui sakramen tobat dan pelajaran katekese para misionaris mengembangkan pemahaman agama dan memperdalam iman. Para Pater harus bekerja keras sepanjang hari selama misi umat. Sering ada begitu banyak permintaan dari paroki-paroki, sehingga setelah misi intensif dan melelahkan di salah satu paroki, para misionaris hanya mempunyai beberapa hari beristirahat, sebelum memulai lagi misi di paroki yang lain. Selain dari misi, ada juga permintaan retret untuk kelompok imam atau suster.
Begitulah hidup Pater Berthier dipenuhi kesibukan pastoral, yang tidak jarang menuntut juga suatu tindak lanjut melalui surat-menyurat dengan orang-orang yang ingin menghidupi panggilan mereka sebagai awam, religius atau imam lebih serius, dan yang menginginkan pengarahan rohani darinya.
Pengkhotbah
Sebagaimana telah kita lihat, para Misionaris La Salette disibukkan oleh aktivitas pastoral di atas gunung suci (La Salette) selama musim panas dan selama musim dingin di paroki-paroki. Satu dari tugas-tugas paling penting adalah berkhotbah. Karena peziarah silih berganti datang, maka tidak perlu dipersiapkan setiap hari khotbah-khotbah yang baru. Demikian juga dengan misi-misi di paroki: hampir semua bahan dapat digunakan berkali-kali. Tentu saja tidak mungkin juga setiap kali disiapkan khotbah, konferensi dan ceramah rohani yang baru sebab waktu persiapan sangat terbatas. Tetapi pengulangan khotbah tentu mengandung risiko bahwa khotbah disampaikan hampir secara mekanik, tanpa penjiwaan dan semangat. Para rekan mengatakan bahwa Pater Jean selalu mencari sedikit waktu luang sebagai persiapan terakhir bagi setiap khotbah dan konferensi rohaninya, untuk menghindari risiko di atas. Berkat ingatannya yang luar biasa dengan mudah ia dapat menceritakan contoh-contoh dan cerita-cerita pendek yang banyak tersimpan di kepalanya. Dengan demikian khotbahnya menjadi lebih ringan dan mudah dimengerti melalui contoh, anekdot, dan cerita yang hidup. Sering kali ia begitu menjiwai khotbahnya, sehingga ikut merasakan emosi yang ingin ditimbulkan di dalam hati para pendengarnya dan mempengaruhi para pendengarnya. Beberapa kali bahkan ia sampai menitikkan air mata ketika menceritakan dan menjelaskan kisah bunda Maria yang menangis.
Itu semua menjadikan Pater Berthier seorang pengkhotbah favorit, dan para konfraternya secara spontan setuju menunjuknya untuk berkhotbah di La Salette pada hari-hari pesta bunda Maria. Salah seorang konfraternya yang sering bersamanya memberikan misi umat mengatakan bahwa dalam tahun-tahun itu tidak satu misi pun dari Pater Berthier gagal. Ia mempunyai talenta untuk memasukkan dalam khotbah sederetan sarana dan unsur variasi untuk menarik perhatian umat yang tidak selalu mudah, karena sering umat kelelahan sebab bekerja sepanjang hari, sebelum mendengarkan khotbah pada malam hari.
Satu bagian penting dari misi umat adalah kunjungan keluarga ke rumah-rumah. Biasanya para imam mengunjungi semua keluarga pada minggu pertama untuk mendorong mereka ambil bagian dalam misi umat dan menghadiri acara-acaranya. Pater Berthier selalu amat mendesak kehadiran kaum laki-laki. Jika mereka tertarik, maka misi umat mengalami kesuksesan. Dengan segala bakat intelektual dan afektif ia mengajak kaum laki-laki yang sering sudah bertahun-tahun tidak ke gereja, untuk jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia berhasil mempertobatkan dan membawa banyak dari mereka pada pengakuan dosa. Ia menggunakan segala daya ciptanya untuk menarik para kakek dan ayah ke gereja dengan melibatkan anak atau cucu dalam perayaan: mereka boleh membacakan Kitab Suci, atau menyanyikan lagu, atau melantunkan suatu deklamasi.
Salah satu prinsip Pater Berthier adalah: suatu khotbah harus sederhana dan mudah dimengerti. Tidak pernah ia membawa khotbah hanya untuk kaum terpelajar, melainkan untuk semua, termasuk pembantu rumah tangga yang kurang berpendidikan. Seni berkhotbah yang baik adalah menerangkan bahan yang sukar dan penting sedemikian rupa sehingga umat biasa pun bisa mengertinya. Sesungguhnya contoh-contoh dan anekdot yang dipilihnya dengan baik sering membuat khotbah jadi mudah dimengerti dan sering tak terlupakan.
Sebagaimana telah kita lihat, para Misionaris La Salette disibukkan oleh aktivitas pastoral di atas gunung suci (La Salette) selama musim panas dan selama musim dingin di paroki-paroki. Satu dari tugas-tugas paling penting adalah berkhotbah. Karena peziarah silih berganti datang, maka tidak perlu dipersiapkan setiap hari khotbah-khotbah yang baru. Demikian juga dengan misi-misi di paroki: hampir semua bahan dapat digunakan berkali-kali. Tentu saja tidak mungkin juga setiap kali disiapkan khotbah, konferensi dan ceramah rohani yang baru sebab waktu persiapan sangat terbatas. Tetapi pengulangan khotbah tentu mengandung risiko bahwa khotbah disampaikan hampir secara mekanik, tanpa penjiwaan dan semangat. Para rekan mengatakan bahwa Pater Jean selalu mencari sedikit waktu luang sebagai persiapan terakhir bagi setiap khotbah dan konferensi rohaninya, untuk menghindari risiko di atas. Berkat ingatannya yang luar biasa dengan mudah ia dapat menceritakan contoh-contoh dan cerita-cerita pendek yang banyak tersimpan di kepalanya. Dengan demikian khotbahnya menjadi lebih ringan dan mudah dimengerti melalui contoh, anekdot, dan cerita yang hidup. Sering kali ia begitu menjiwai khotbahnya, sehingga ikut merasakan emosi yang ingin ditimbulkan di dalam hati para pendengarnya dan mempengaruhi para pendengarnya. Beberapa kali bahkan ia sampai menitikkan air mata ketika menceritakan dan menjelaskan kisah bunda Maria yang menangis.
Itu semua menjadikan Pater Berthier seorang pengkhotbah favorit, dan para konfraternya secara spontan setuju menunjuknya untuk berkhotbah di La Salette pada hari-hari pesta bunda Maria. Salah seorang konfraternya yang sering bersamanya memberikan misi umat mengatakan bahwa dalam tahun-tahun itu tidak satu misi pun dari Pater Berthier gagal. Ia mempunyai talenta untuk memasukkan dalam khotbah sederetan sarana dan unsur variasi untuk menarik perhatian umat yang tidak selalu mudah, karena sering umat kelelahan sebab bekerja sepanjang hari, sebelum mendengarkan khotbah pada malam hari.
Satu bagian penting dari misi umat adalah kunjungan keluarga ke rumah-rumah. Biasanya para imam mengunjungi semua keluarga pada minggu pertama untuk mendorong mereka ambil bagian dalam misi umat dan menghadiri acara-acaranya. Pater Berthier selalu amat mendesak kehadiran kaum laki-laki. Jika mereka tertarik, maka misi umat mengalami kesuksesan. Dengan segala bakat intelektual dan afektif ia mengajak kaum laki-laki yang sering sudah bertahun-tahun tidak ke gereja, untuk jangan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia berhasil mempertobatkan dan membawa banyak dari mereka pada pengakuan dosa. Ia menggunakan segala daya ciptanya untuk menarik para kakek dan ayah ke gereja dengan melibatkan anak atau cucu dalam perayaan: mereka boleh membacakan Kitab Suci, atau menyanyikan lagu, atau melantunkan suatu deklamasi.
Salah satu prinsip Pater Berthier adalah: suatu khotbah harus sederhana dan mudah dimengerti. Tidak pernah ia membawa khotbah hanya untuk kaum terpelajar, melainkan untuk semua, termasuk pembantu rumah tangga yang kurang berpendidikan. Seni berkhotbah yang baik adalah menerangkan bahan yang sukar dan penting sedemikian rupa sehingga umat biasa pun bisa mengertinya. Sesungguhnya contoh-contoh dan anekdot yang dipilihnya dengan baik sering membuat khotbah jadi mudah dimengerti dan sering tak terlupakan.
Pengarang
Tidak berapa lama setelah masuk Kongregasi Maria La Salette, Jean harus menghentikan beberapa kali masa novisiatnya karena sakit. Atasan memberikan tempat kerja yang ringan di mana ada cukup waktu untuk istirahat. Tetapi ia mengeluh kepada romo pemimpin novis, yang berkata kepadanya: “Jika engkau tidak bisa melaksanakan suatu karya yang berat, maka selalu bisa mengarang sesuatu!” Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu, dan ia langsung menerima nasihat dan mulai mengarang. Sampai hari terakhir hidupnya ia terus menulis, sehingga kita mempunyai, di samping banyak sekali karangan, 35 buku besar dan kecil. Beberapa buku kecil, tetapi ada juga dengan 1000-2000 halaman. Sebagian besar dicetak ulang kerap kali dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pater Berthier adalah salah satu pengarang rohani favorit dari abad ke-19. Jumlah buku yang terjual selama hidupnya melebihi satu juta eksemplar.
Ia menulis sebagaimana ia berkhotbah, untuk setiap kelompok orang dan umur: anak-anak, muda-mudi, ayah-ibu, para suster, para imam. Dalam arti tertentu buku-bukunya merupakan semacam kelanjutan dari khotbahnya; melalui buku-bukunya ia mau memperluas sidang pendengarnya. Barangsiapa membaca buku-buku, yang dikarangnya bagi pelbagai kelompok awam, dapat membayangkan bagaimana Pater Berthier mengarang: ia selalu melihat orang-orang itu di hadapannya, persis sama seperti ketika ia berkhotbah. Gayanya sama dalam khotbah dan dalam tulisannya: praktis dan enak dicerna; bahan yang sukar selalu dijelaskan dengan banyak contoh dan cerita yang menyenangkan. Ia menggunakan banyak kutipan dari Bapa-Bapa Gereja, dari teolog dan pengkhotbah yang tersohor.
Ia tidak pernah mencapai taraf sebagai pengarang yang berbakat tinggi, sehingga kita tidak boleh menantikan dari dia karya dengan nilai sastra yang besar. Ia seorang praktisi yang telah melihat dengan cermat segala kemungkinan dari naskah tercetak: orang bisa menjangkau ribuan orang, sedangkan sidang pendengar dari seorang pengkhotbah tidak melebihi beberapa ratus orang. Untuk sungguh mencapai kelompok orang yang besar itu, ia juga harus menjadi seorang pedagang dan manager yang baik. Kumpulan surat yang besar tersimpan dalam arsip MSF di Roma, menggambarkan dengan baik bagaimana ia ingin menjangkau sebanyak mungkin pembaca. Oleh karena itu harga buku-bukunya harus serendah mungkin, sedangkan promosi dan pengiriman buku-bukunya diserahkan kepada sejumlah sukarelawan dan sukarelawati yang setia.
Buku-buku karangan Pater Berthier, yang ditulis untuk para imam, direncanakan sebagai suatu pertolongan agar mereka dapat hidup dan bertugas sebaik mungkin sebagai imam. Bagi mereka ia telah menyusun suatu buku “ringkas” (800 halaman!) dengan segala informasi yang harus dimiliki seorang imam untuk menunaikan tugasnya dengan baik: segala bagian teologi dan hukum Gereja diringkaskan dalam buku ini secara sederhana dan gemilang. Seorang imam akan menemukan dengan mudah jawaban atas pertanyaan dan masalahnya. Itulah “Kompendium Teologi Dogmatik dan Moral”. Selain dari itu ia telah menyusun suatu buku besar (“Imam dan Pelayanan Sabda”, hampir 2000 halaman!) untuk menolong para imam dalam tugasnya sebagai pengkhotbah: ratusan contoh khotbah dan ceramah rohani disajikan untuk semua kesempatan dan pesta entah lengkap atau dalam bentuk skema atau ringkasan. Dengan demikian sang pengkhotbah amat dibantu untuk menyusun suatu khotbah yang baik.
Tidak berapa lama setelah masuk Kongregasi Maria La Salette, Jean harus menghentikan beberapa kali masa novisiatnya karena sakit. Atasan memberikan tempat kerja yang ringan di mana ada cukup waktu untuk istirahat. Tetapi ia mengeluh kepada romo pemimpin novis, yang berkata kepadanya: “Jika engkau tidak bisa melaksanakan suatu karya yang berat, maka selalu bisa mengarang sesuatu!” Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu, dan ia langsung menerima nasihat dan mulai mengarang. Sampai hari terakhir hidupnya ia terus menulis, sehingga kita mempunyai, di samping banyak sekali karangan, 35 buku besar dan kecil. Beberapa buku kecil, tetapi ada juga dengan 1000-2000 halaman. Sebagian besar dicetak ulang kerap kali dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa lain. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Pater Berthier adalah salah satu pengarang rohani favorit dari abad ke-19. Jumlah buku yang terjual selama hidupnya melebihi satu juta eksemplar.
Ia menulis sebagaimana ia berkhotbah, untuk setiap kelompok orang dan umur: anak-anak, muda-mudi, ayah-ibu, para suster, para imam. Dalam arti tertentu buku-bukunya merupakan semacam kelanjutan dari khotbahnya; melalui buku-bukunya ia mau memperluas sidang pendengarnya. Barangsiapa membaca buku-buku, yang dikarangnya bagi pelbagai kelompok awam, dapat membayangkan bagaimana Pater Berthier mengarang: ia selalu melihat orang-orang itu di hadapannya, persis sama seperti ketika ia berkhotbah. Gayanya sama dalam khotbah dan dalam tulisannya: praktis dan enak dicerna; bahan yang sukar selalu dijelaskan dengan banyak contoh dan cerita yang menyenangkan. Ia menggunakan banyak kutipan dari Bapa-Bapa Gereja, dari teolog dan pengkhotbah yang tersohor.
Ia tidak pernah mencapai taraf sebagai pengarang yang berbakat tinggi, sehingga kita tidak boleh menantikan dari dia karya dengan nilai sastra yang besar. Ia seorang praktisi yang telah melihat dengan cermat segala kemungkinan dari naskah tercetak: orang bisa menjangkau ribuan orang, sedangkan sidang pendengar dari seorang pengkhotbah tidak melebihi beberapa ratus orang. Untuk sungguh mencapai kelompok orang yang besar itu, ia juga harus menjadi seorang pedagang dan manager yang baik. Kumpulan surat yang besar tersimpan dalam arsip MSF di Roma, menggambarkan dengan baik bagaimana ia ingin menjangkau sebanyak mungkin pembaca. Oleh karena itu harga buku-bukunya harus serendah mungkin, sedangkan promosi dan pengiriman buku-bukunya diserahkan kepada sejumlah sukarelawan dan sukarelawati yang setia.
Buku-buku karangan Pater Berthier, yang ditulis untuk para imam, direncanakan sebagai suatu pertolongan agar mereka dapat hidup dan bertugas sebaik mungkin sebagai imam. Bagi mereka ia telah menyusun suatu buku “ringkas” (800 halaman!) dengan segala informasi yang harus dimiliki seorang imam untuk menunaikan tugasnya dengan baik: segala bagian teologi dan hukum Gereja diringkaskan dalam buku ini secara sederhana dan gemilang. Seorang imam akan menemukan dengan mudah jawaban atas pertanyaan dan masalahnya. Itulah “Kompendium Teologi Dogmatik dan Moral”. Selain dari itu ia telah menyusun suatu buku besar (“Imam dan Pelayanan Sabda”, hampir 2000 halaman!) untuk menolong para imam dalam tugasnya sebagai pengkhotbah: ratusan contoh khotbah dan ceramah rohani disajikan untuk semua kesempatan dan pesta entah lengkap atau dalam bentuk skema atau ringkasan. Dengan demikian sang pengkhotbah amat dibantu untuk menyusun suatu khotbah yang baik.
Pendidik Calon-Calon Imam
Pada tahun 1876 Kongregasi Misionaris La Salette berumur hampir 25 tahun. Tetapi anggota kongregasi masih sangat sedikit. Hanya ada 10 anggota, jumlah yang terlalu sedikit untuk sekian banyak aktivitas di gunung suci, dan selama musim dingin di paroki-paroki. Karena alasan ini diputuskan membuka sebuah sekolah apostolik sebagai awal dari program pendidikan calon imam tarekat. Pater Berthier sebagai anggota yang paling pandai diminta untuk mendirikan dan mengelola sekolah baru tersebut. Pada musim panas tahun 1876 sekolah di Corps dimulai dengan 15 siswa, tetapi jumlah siswa berkembang dengan cepat. Jean tidak hanya menjabat direktur sekolah, tetapi ia juga satu-satunya pengajar full-time. Sejak awal tujuan sekolah ini dirumuskan dengan jelas: membentuk para imam yang saleh dan cakap. Oleh karena itu latihan-latihan kerohanian mengambil tempat penting dalam program harian. Program studi selama 4 tahun berpusat pada studi bahasa Latin dan bahasa Perancis, sementara pelajaran lain mendapat porsi waktu yang sangat terbatas. Pater Berthier berpendapat bahwa titik berat dari pendidikan imam ditemukan setelah sekolah apostolik, yaitu di novisiat, yang berpusat pada aspek-aspek spiritual panggilan, dan di skolastikat di mana para calon imam memperoleh kemampuannya dengan belajar filsafat dan teologi. Sekolah apostolik berfungsi hanya sebagai persiapan bagi novisiat dan skolastikat. Oleh karena itu ia membatasi waktu di sekolah apostolik menjadi hanya empat tahun. Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa tahun ajaran itu lebih panjang dari pada di sekolah menengah biasa. Sebab para siswa tidak pulang untuk liburan. Mereka mengikuti program pelajaran di sekolah yang hanya sedikit lebih ringan daripada biasa!
Ketika para siswa angkatan pertama menyelesaikan sekolah apostolik dan mereka harus masuk novisiat, situasi keagamaan di Perancis menjadi sangat problematis. Undang-undang antiklerikal dari tahun 1880 hampir-hampir tidak memungkinkan pendirian sebuah biara atau seminari. Karena alasan itu Pater Berthier dan para seminaris harus lari ke luar negeri. Di Swis Barat ditemukan tempat pengungsian di Loèche. Tetapi karena situasi finansial untuk kaum rohaniwan di Perancis semakin parah, maka periode pendidikan para pengungsi di Loèche diwarnai oleh kemiskinan yang hebat. Pater Jean tidak begitu khawatir dengan situasi ini. Sebab ia berpendapat bahwa sebuah masa persiapan yang sulit akan menghasilkan calon-calon misionaris yang bisa beradaptasi dengan kehidupan yang sulit sebagai misionaris dalam misi umat atau di Afrika dan Asia. Sampai tahun 1889, tugas utama Pater Berthier adalah mendidik calon-calon imam. Waktu untuk menulis, untuk berkhotbah dan untuk memberi misi umat dan retret menjadi sangat terbatas.
Pada tahun 1876 Kongregasi Misionaris La Salette berumur hampir 25 tahun. Tetapi anggota kongregasi masih sangat sedikit. Hanya ada 10 anggota, jumlah yang terlalu sedikit untuk sekian banyak aktivitas di gunung suci, dan selama musim dingin di paroki-paroki. Karena alasan ini diputuskan membuka sebuah sekolah apostolik sebagai awal dari program pendidikan calon imam tarekat. Pater Berthier sebagai anggota yang paling pandai diminta untuk mendirikan dan mengelola sekolah baru tersebut. Pada musim panas tahun 1876 sekolah di Corps dimulai dengan 15 siswa, tetapi jumlah siswa berkembang dengan cepat. Jean tidak hanya menjabat direktur sekolah, tetapi ia juga satu-satunya pengajar full-time. Sejak awal tujuan sekolah ini dirumuskan dengan jelas: membentuk para imam yang saleh dan cakap. Oleh karena itu latihan-latihan kerohanian mengambil tempat penting dalam program harian. Program studi selama 4 tahun berpusat pada studi bahasa Latin dan bahasa Perancis, sementara pelajaran lain mendapat porsi waktu yang sangat terbatas. Pater Berthier berpendapat bahwa titik berat dari pendidikan imam ditemukan setelah sekolah apostolik, yaitu di novisiat, yang berpusat pada aspek-aspek spiritual panggilan, dan di skolastikat di mana para calon imam memperoleh kemampuannya dengan belajar filsafat dan teologi. Sekolah apostolik berfungsi hanya sebagai persiapan bagi novisiat dan skolastikat. Oleh karena itu ia membatasi waktu di sekolah apostolik menjadi hanya empat tahun. Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa tahun ajaran itu lebih panjang dari pada di sekolah menengah biasa. Sebab para siswa tidak pulang untuk liburan. Mereka mengikuti program pelajaran di sekolah yang hanya sedikit lebih ringan daripada biasa!
Ketika para siswa angkatan pertama menyelesaikan sekolah apostolik dan mereka harus masuk novisiat, situasi keagamaan di Perancis menjadi sangat problematis. Undang-undang antiklerikal dari tahun 1880 hampir-hampir tidak memungkinkan pendirian sebuah biara atau seminari. Karena alasan itu Pater Berthier dan para seminaris harus lari ke luar negeri. Di Swis Barat ditemukan tempat pengungsian di Loèche. Tetapi karena situasi finansial untuk kaum rohaniwan di Perancis semakin parah, maka periode pendidikan para pengungsi di Loèche diwarnai oleh kemiskinan yang hebat. Pater Jean tidak begitu khawatir dengan situasi ini. Sebab ia berpendapat bahwa sebuah masa persiapan yang sulit akan menghasilkan calon-calon misionaris yang bisa beradaptasi dengan kehidupan yang sulit sebagai misionaris dalam misi umat atau di Afrika dan Asia. Sampai tahun 1889, tugas utama Pater Berthier adalah mendidik calon-calon imam. Waktu untuk menulis, untuk berkhotbah dan untuk memberi misi umat dan retret menjadi sangat terbatas.
Pendiri Kongregasi MSF
Setelah dibebaskan dari tugas sebagai formator, pada tahun 1889, Pater Berthier membaktikan seluruh tenaga untuk menulis buku dan melakukan aktivitas pastoral di atas gunung suci La Salette, dan selama musim dingin di paroki-paroki. Buku-bukunya yang paling penting yang juga telah menuntut paling banyak waktu persiapan, telah dikarang pada tahun-tahun ini: buku-buku tentang hidup membiara dan tentang imamat, dan buku-buku pegangan bagi para imam.
Pada masa-masa ini Pater Berthier sangat tersentuh oleh pengalaman yang terus-menerus berulang. Ada banyak pemuda antara 15-30 tahun yang ingin menjadi imam, tetapi tidak dapat merealisasikan keinginan mereka, sebab seminari tidak menerima para calon yang berumur lebih dari 14 tahun. Ia yakin bahwa di antara mereka ada calon-calon yang bagus. Selain dari itu, pada waktu yang sama Paus Leo XIII berbicara berulang kali tentang sangat kurangnya tenaga misionaris untuk mewartakan Kabar Gembira di Afrika dan Asia. Secara khusus dalam ensiklik Sancta Dei Civitas, Paus mengajak para uskup untuk mencoba segala kemungkinan guna menyiapkan dan mengutus sebanyak mungkin misionaris. Sebagai seorang yang amat praktis Pater Berthier melihat di satu pihak permintaan, dan di pihak lain tawaran. Ia berbicara dengan para pemimpinnya, tentang keinginannya untuk membuka sebuah seminari khusus atau sebuah sekolah apostolik untuk mengumpulkan “panggilan terlambat” itu, guna mendidik mereka menjadi misionaris. Tetapi ia tidak dapat meyakinkan para pemimpinnya. Apa yang harus dilakukan sekarang? Ia berbicara dengan orang lain, secara khusus dengan beberapa pejabat Gereja, seperti Kardinal Langénieux, uskup Reims, dan Kardinal Rampolla, Sekretaris Negara Vatikan. Kardinal Rampolla berbicara dengan Paus Leo XIII. Dalam audiensi tgl. 15 November 1894 Sri Paus berbicara dengan Kardinal Langénieux dan sangat memuji rencana Pater Berthier. Beliau memberkati rencana ini dan berharap agar cepat dapat direalisasikan. Paus Leo juga menyampaikan kepada Kardinal segala kuasa untuk mempermudah usaha-usaha selanjutnya, termasuk pendirian suatu kongregasi baru.
Disemangati oleh keinginan Sri Paus, Pater Berthier langsung memulai persiapan itu. Undang-undang antiklerikal di Perancis tidak memungkinkan pendirian suatu kongregasi atau biara baru di situ. Maka ia mempertimbangkan kemungkinan di Kanada atau di Belanda, dan memilih kemungkinan kedua, sebab Kanada “terlalu jauh”. Di Belanda tinggal beberapa sahabat yang ia kenal sejak mereka berziarah ke La Salette, khususnya keluarga Brouwers dari Tilburg. Dengan bantuan mereka Pater Berthier dalam beberapa bulan dapat menemukan sebuah rumah yang ia suka dan tidak terlalu mahal, yakni sebuah tangsi (asrama prajurit) yang tua, yang tidak dipakai lagi, di Grave, sebuah kota benteng kecil. Penampilan rumah begitu jelek sehingga pada permulaan wali kota tidak berani memperlihatkannya. Tetapi Pater Berthier merasa cocok dengan rumah ini, karena: besar, cukup untuk sekitar seratus murid, sederhana, tidak mewah. Hal ini cocok sebagai tempat pembinaan di mana calon-calon misionaris dapat belajar hidup keras dan sederhana, seperti di tempat misi nanti. Selain itu kongregasi baru ini diberi nama Kongregasi para Misionaris Keluarga Kudus. Keluarga Kudus juga selalu mengalami situasi miskin, katanya. Lapangan untuk latihan militer di bekas tangsi itu bisa diubah menjadi kebun sayuran. Pater Berthier begitu antusias tentang tempat tersebut, sehingga ia langsung membeli rumah dan tanah di sekitarnya.
Di bawah bimbingannya para penderma dan wanita-wanita, yang sampai waktu itu selalu menolong dia dengan penjualan buku-bukunya, mulai sekarang membuat propaganda bagi kongregasi baru. Pada tgl. 28 September 1895 Pater Berthier menerima ijin tertulis dari uskup ‘s-Hertogenbosch, dan memulai di Grave bersama dengan sepuluh murid, fondasi baru di dalam tangsi tua. Selama bulan-bulan pertama para murid baru terus berdatangan ke Grave. Tetapi tahun-tahun pertama adalah masa yang sangat sulit dan tidak ada seorang pun dari kelompok murid pertama yang masih tersisa. Dengan dibantu oleh dua wanita Perancis untuk urusan pekerjaan rumah Pater Berthier terus melanjutkan usahanya. Sejak tahun 1898 terwujud suatu kelompok murid yang tetap bertahan, sebagai anggota awal dari kongregasi baru. Pada tahun-tahun pertama Pater Pendiri merangkap tugas sebagai pemimpin dan pengajar. Sampai saat tahbisan imam-imamnya yang pertama pada tahun 1905 ia ditolong hanya selama periode-periode pendek saja, oleh beberapa imam lain, termasuk dua imam dari kongregasinya sendiri MS. Ia mempunyai kebiasaan untuk melibatkan para mahasiswa di kelas atas dan para frater yang belajar filsafat dan teologi untuk mengajar di kelas-kelas bawah. Ini bukan solusi ideal, tetapi satu-satunya kemungkinan untuk menjalankan pendidikan dengan sarana-sarananya yang terbatas. Tujuan Pater Berthier dengan pendidikan di Grave sama seperti dulu: ia ingin membentuk misionaris-misionaris yang saleh dan cakap. Sama seperti yang ia lakukan 15 tahun sebelumnya dalam kongregasinya MS, demikian pula di Grave. Titik berat pendidikannya terletak pada tahap novisiat dan pada studi filsafat-teologi. Sekolah apostolik hanya mempersiapkan bagi tahap-tahap berikut, sehingga boleh dibatasi pada pendidikan minimal yang perlu. Tuntutan yang paling penting di sekolah apostolik ialah para murid harus belajar secara sempurna bahasa Latin dan bahasa Perancis. Pelajaran lain diajarkan tidak mendalam. Kalau ada siswa yang sudah belajar beberapa waktu di luar, maka waktu mereka di sekolah apostolik dapat diperpendek.
Kehidupan di Grave sangat ekstrim dalam hal kemiskinan, baik rumah maupun perabot, yang telah dibuat oleh para siswa sendiri. Bagian tidak kecil dari waktu dipakai untuk kerja tangan untuk menekan biaya semaksimal mungkin. Pater Pendiri mempunyai uang, tetapi ia ingin mendidik sebanyak mungkin calon dengan sarana yang terbatas itu. Dalam kelompok siswa hampir segala keahlian dikuasai, dan begitulah kelompok “Pater-Pater Perancis” (demikianlah mereka disebut orang di Grave!) mandiri dalam hampir apa saja. Hidup di Grave sukar, tuntutan-tuntutan dari Pater Berthier terhadap para muridnya tinggi, tetapi para murid dan frater dari periode itu memberi kesaksian yang sama bunyinya: pribadi Pendiri membuat hidup tidak hanya tertahankan melainkan bahkan bahagia! Di bawah bimbingannya semua merasa sebagai satu keluarga, yang mengejar cita-cita yang luhur. Dengan kesederhanaannya yang luar biasa – ia mengambil bagian 100% dalam hidup para siswa – Pendiri menjadi teladan bagi mereka.
Meskipun Pater Berthier selalu menderita karena kesehatannya kurang baik, yang khususnya pada musim dingin menyebabkan banyak gangguan, namun ia telah bekerja dengan tekun sampai hari terakhir hidupnya. Ia sangat sibuk di Grave sebagai pemimpin dan pengajar dan harus memberi perhatian kepada para siswa dan para frater. Selain dari itu ia terus-menerus menulis buku dan karangan untuk majalah “Messager de la Sainte Famille” (Utusan dari Keluarga Kudus) suatu majalah bulanan yang didirikannya dan yang untuk sebagian besar diisi sendiri juga. Tetapi tugas yang menuntut paling banyak energi adalah menyiapkan beberapa kali cetak ulang dari buku-bukunya yang paling penting untuk para imam dan religius. Ia membaca banyak dan menginginkan agar buku itu selalu up to date. Ia tidak bisa hidup tenang tanpa bekerja; nanti, katanya, saya akan beristirahat di surga!
Pada musim gugur tahun 1908 Pater Berthier sangat menderita karena sakit bronkitis, tetapi ia merasa tidak perlu beristirahat di tempat tidur, dan kemudian melakukan pekerjaan rutin. Pada tanggal 16 Oktober ia bangun seperti biasa guna memulai aktivitas hariannya. Tetapi serangan penyakit memaksanya kembali berbaring di tempat tidur, dan satu jam kemudian beliau wafat. Dengan semangat pastoral yang luar biasa ia sungguh menjadi seorang imam untuk seluruh umat kristiani: sebagai pengkhotbah, pengarang, pendidik calon-calon imam, dan pendiri suatu kongregasi misionaris.
Setelah dibebaskan dari tugas sebagai formator, pada tahun 1889, Pater Berthier membaktikan seluruh tenaga untuk menulis buku dan melakukan aktivitas pastoral di atas gunung suci La Salette, dan selama musim dingin di paroki-paroki. Buku-bukunya yang paling penting yang juga telah menuntut paling banyak waktu persiapan, telah dikarang pada tahun-tahun ini: buku-buku tentang hidup membiara dan tentang imamat, dan buku-buku pegangan bagi para imam.
Pada masa-masa ini Pater Berthier sangat tersentuh oleh pengalaman yang terus-menerus berulang. Ada banyak pemuda antara 15-30 tahun yang ingin menjadi imam, tetapi tidak dapat merealisasikan keinginan mereka, sebab seminari tidak menerima para calon yang berumur lebih dari 14 tahun. Ia yakin bahwa di antara mereka ada calon-calon yang bagus. Selain dari itu, pada waktu yang sama Paus Leo XIII berbicara berulang kali tentang sangat kurangnya tenaga misionaris untuk mewartakan Kabar Gembira di Afrika dan Asia. Secara khusus dalam ensiklik Sancta Dei Civitas, Paus mengajak para uskup untuk mencoba segala kemungkinan guna menyiapkan dan mengutus sebanyak mungkin misionaris. Sebagai seorang yang amat praktis Pater Berthier melihat di satu pihak permintaan, dan di pihak lain tawaran. Ia berbicara dengan para pemimpinnya, tentang keinginannya untuk membuka sebuah seminari khusus atau sebuah sekolah apostolik untuk mengumpulkan “panggilan terlambat” itu, guna mendidik mereka menjadi misionaris. Tetapi ia tidak dapat meyakinkan para pemimpinnya. Apa yang harus dilakukan sekarang? Ia berbicara dengan orang lain, secara khusus dengan beberapa pejabat Gereja, seperti Kardinal Langénieux, uskup Reims, dan Kardinal Rampolla, Sekretaris Negara Vatikan. Kardinal Rampolla berbicara dengan Paus Leo XIII. Dalam audiensi tgl. 15 November 1894 Sri Paus berbicara dengan Kardinal Langénieux dan sangat memuji rencana Pater Berthier. Beliau memberkati rencana ini dan berharap agar cepat dapat direalisasikan. Paus Leo juga menyampaikan kepada Kardinal segala kuasa untuk mempermudah usaha-usaha selanjutnya, termasuk pendirian suatu kongregasi baru.
Disemangati oleh keinginan Sri Paus, Pater Berthier langsung memulai persiapan itu. Undang-undang antiklerikal di Perancis tidak memungkinkan pendirian suatu kongregasi atau biara baru di situ. Maka ia mempertimbangkan kemungkinan di Kanada atau di Belanda, dan memilih kemungkinan kedua, sebab Kanada “terlalu jauh”. Di Belanda tinggal beberapa sahabat yang ia kenal sejak mereka berziarah ke La Salette, khususnya keluarga Brouwers dari Tilburg. Dengan bantuan mereka Pater Berthier dalam beberapa bulan dapat menemukan sebuah rumah yang ia suka dan tidak terlalu mahal, yakni sebuah tangsi (asrama prajurit) yang tua, yang tidak dipakai lagi, di Grave, sebuah kota benteng kecil. Penampilan rumah begitu jelek sehingga pada permulaan wali kota tidak berani memperlihatkannya. Tetapi Pater Berthier merasa cocok dengan rumah ini, karena: besar, cukup untuk sekitar seratus murid, sederhana, tidak mewah. Hal ini cocok sebagai tempat pembinaan di mana calon-calon misionaris dapat belajar hidup keras dan sederhana, seperti di tempat misi nanti. Selain itu kongregasi baru ini diberi nama Kongregasi para Misionaris Keluarga Kudus. Keluarga Kudus juga selalu mengalami situasi miskin, katanya. Lapangan untuk latihan militer di bekas tangsi itu bisa diubah menjadi kebun sayuran. Pater Berthier begitu antusias tentang tempat tersebut, sehingga ia langsung membeli rumah dan tanah di sekitarnya.
Di bawah bimbingannya para penderma dan wanita-wanita, yang sampai waktu itu selalu menolong dia dengan penjualan buku-bukunya, mulai sekarang membuat propaganda bagi kongregasi baru. Pada tgl. 28 September 1895 Pater Berthier menerima ijin tertulis dari uskup ‘s-Hertogenbosch, dan memulai di Grave bersama dengan sepuluh murid, fondasi baru di dalam tangsi tua. Selama bulan-bulan pertama para murid baru terus berdatangan ke Grave. Tetapi tahun-tahun pertama adalah masa yang sangat sulit dan tidak ada seorang pun dari kelompok murid pertama yang masih tersisa. Dengan dibantu oleh dua wanita Perancis untuk urusan pekerjaan rumah Pater Berthier terus melanjutkan usahanya. Sejak tahun 1898 terwujud suatu kelompok murid yang tetap bertahan, sebagai anggota awal dari kongregasi baru. Pada tahun-tahun pertama Pater Pendiri merangkap tugas sebagai pemimpin dan pengajar. Sampai saat tahbisan imam-imamnya yang pertama pada tahun 1905 ia ditolong hanya selama periode-periode pendek saja, oleh beberapa imam lain, termasuk dua imam dari kongregasinya sendiri MS. Ia mempunyai kebiasaan untuk melibatkan para mahasiswa di kelas atas dan para frater yang belajar filsafat dan teologi untuk mengajar di kelas-kelas bawah. Ini bukan solusi ideal, tetapi satu-satunya kemungkinan untuk menjalankan pendidikan dengan sarana-sarananya yang terbatas. Tujuan Pater Berthier dengan pendidikan di Grave sama seperti dulu: ia ingin membentuk misionaris-misionaris yang saleh dan cakap. Sama seperti yang ia lakukan 15 tahun sebelumnya dalam kongregasinya MS, demikian pula di Grave. Titik berat pendidikannya terletak pada tahap novisiat dan pada studi filsafat-teologi. Sekolah apostolik hanya mempersiapkan bagi tahap-tahap berikut, sehingga boleh dibatasi pada pendidikan minimal yang perlu. Tuntutan yang paling penting di sekolah apostolik ialah para murid harus belajar secara sempurna bahasa Latin dan bahasa Perancis. Pelajaran lain diajarkan tidak mendalam. Kalau ada siswa yang sudah belajar beberapa waktu di luar, maka waktu mereka di sekolah apostolik dapat diperpendek.
Kehidupan di Grave sangat ekstrim dalam hal kemiskinan, baik rumah maupun perabot, yang telah dibuat oleh para siswa sendiri. Bagian tidak kecil dari waktu dipakai untuk kerja tangan untuk menekan biaya semaksimal mungkin. Pater Pendiri mempunyai uang, tetapi ia ingin mendidik sebanyak mungkin calon dengan sarana yang terbatas itu. Dalam kelompok siswa hampir segala keahlian dikuasai, dan begitulah kelompok “Pater-Pater Perancis” (demikianlah mereka disebut orang di Grave!) mandiri dalam hampir apa saja. Hidup di Grave sukar, tuntutan-tuntutan dari Pater Berthier terhadap para muridnya tinggi, tetapi para murid dan frater dari periode itu memberi kesaksian yang sama bunyinya: pribadi Pendiri membuat hidup tidak hanya tertahankan melainkan bahkan bahagia! Di bawah bimbingannya semua merasa sebagai satu keluarga, yang mengejar cita-cita yang luhur. Dengan kesederhanaannya yang luar biasa – ia mengambil bagian 100% dalam hidup para siswa – Pendiri menjadi teladan bagi mereka.
Meskipun Pater Berthier selalu menderita karena kesehatannya kurang baik, yang khususnya pada musim dingin menyebabkan banyak gangguan, namun ia telah bekerja dengan tekun sampai hari terakhir hidupnya. Ia sangat sibuk di Grave sebagai pemimpin dan pengajar dan harus memberi perhatian kepada para siswa dan para frater. Selain dari itu ia terus-menerus menulis buku dan karangan untuk majalah “Messager de la Sainte Famille” (Utusan dari Keluarga Kudus) suatu majalah bulanan yang didirikannya dan yang untuk sebagian besar diisi sendiri juga. Tetapi tugas yang menuntut paling banyak energi adalah menyiapkan beberapa kali cetak ulang dari buku-bukunya yang paling penting untuk para imam dan religius. Ia membaca banyak dan menginginkan agar buku itu selalu up to date. Ia tidak bisa hidup tenang tanpa bekerja; nanti, katanya, saya akan beristirahat di surga!
Pada musim gugur tahun 1908 Pater Berthier sangat menderita karena sakit bronkitis, tetapi ia merasa tidak perlu beristirahat di tempat tidur, dan kemudian melakukan pekerjaan rutin. Pada tanggal 16 Oktober ia bangun seperti biasa guna memulai aktivitas hariannya. Tetapi serangan penyakit memaksanya kembali berbaring di tempat tidur, dan satu jam kemudian beliau wafat. Dengan semangat pastoral yang luar biasa ia sungguh menjadi seorang imam untuk seluruh umat kristiani: sebagai pengkhotbah, pengarang, pendidik calon-calon imam, dan pendiri suatu kongregasi misionaris.
Wim van der Weiden MSF