Nias - Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.
Di sela-sela kunjungan kerjaku ke Teluk Dalam (Pulau Nias) saya menyempatkan diri mengunjungi desa Bawomataluo pada tanggal 16 Juni 2014. Jarak tempuh dari Teluk Dalam ke desa ini kurang lebih 40 menit. Inilah sebuah desa adat yang sudah berusia ratusan tahun dan saat ini telah menjadi salah satu warisan budaya dunia yang telah diusulkan oleh UNESCO sejak tahun 2009, dan pada bulan Desember 2012 lalu dianugerahi sebagai salah satu Wonder of the World from Indonesia oleh The Real Wonder of the World Foundation.
Desa Bawomataluo (secara harafiah berarti: Bukit Matahari) diperkirakan didirikan antara tahun 1830-1840. Inilah merupakan sebuah perkampungan dengan deretan rumah adat tradisional (Omo Hada) khas Nias Selatan dengan jumlah 137 Omo Hada yang masih utuh, dengan sebuah OMO SEBUA (Rumah Adat Besar/ Rumah Raja di tengah-tengahnya). Perkampungan ini terletak pada ketinggian 324 meter di atas permukaan laut ini, yang dihuni oleh 1310 Kepala Keluarga (KK).
Untuk mencapai desa Bawomataluo dari jalan raya, kita harus menaiki 77 anak tangga (awalnya 80 anak tangga, namun berkurang akibat longsor) dengan latar belakang bentangan desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake dan teluk Lagundri di kejauhan.
Pekarangan seluruh desa itu terbuat dari susunan lempengan bebatuan. Tak jauh dari anak tangga terakhir gerbang Bawomataluo, kita akan melihat sebuah batu lompat setinggi 2,15 meter (batu itu disebut Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias). Di sebelah kiri batu itu terletak Omo Sebua (Rumah Raja) dan di sebelah kanannya terletak Omo Bale (Balai Desa).
Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.
Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat setempat, Omo Sebua ini dibangun oleh 40 pekerja ahli, dan menghabiskan masa empat tahun untuk merampungkannya. Selama empat tahun itu, tiap harinya dua ekor babi disediakan untuk makanan para pekerja. Dan puncaknya, 300 ekor babi dihidangkan saat Omo Hada ini selesai dibangun dan diresmikan. Uniknya, seluruh taring babi selama empat tahun tadi itu, tidak disia-siakan, melainkan dijadikan dekorasi di dalam Omo Hada.
Di depan Omo Hada ini, terdapat meja batu lengkap dengan kursi yang juga dari batu (Daro-daro atau Harefa) serta beberapa menhir. Ada sebuah batu yang menjulang tinggi, yang namanya batu Faulu (batu tanda menjadi raja)
Saya bersama Pastor Thomas Maduwu OFMCap (pastor paroki luar kota Teluk Dalam) bersia-siap menaiki tangga.
Para penduduk baru pulang dari pasar dan menaiki anak tangga tangga untuk mencapai rumah mereka di desa Bawomataluo.
Saya sudah capek dan nafas tersengal-sengal. Agar bisa istirahat sejenak, saya berdalih minta difoto menjelang anak tangga terakhir. Di kejauhan nampak laut.
Gantian saya memotret Pastor Thomas Maduwu
Perkampungan yang ada di bawah desa Bawomataluo
Dari desa Bawomataluo kita bisa menyaksikan hamparan laut di kejauhan
Gereja Protestan dengan menara kembar terlihat dari tangga Bawomataluo.
Begitu segala anak tangga kita lewati, terhamparlah di hadapan kita desa Bawomataluo dengan pekarangan yang terbuat dari susunan lempengan bebatuan.
Deretan rumah-rumah tradisonal. Di ujung kita bisa melihat menara gereja Katolik.
Deretan rumah-rumah tradisonal.
Omo Sebua (Rumah Raja).
Perhatikan batu padas yang rata dan licin yang berjejer di depan rumah. Ini sangat berguna bila ada kegiatan di halaman luas itu agar para penduduk kampung punya tempat duduk untuk menyaksikannya.
Omo Bale (Balai Desa).
Batu lompat setinggi 2,15 meter (batu itu disebut Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias).
Seorang pemuda sedang latihan melompat Hombo Batu. Dalam acara resmi dia harus menyandang perisai di tangan kiri dan memegang tombak di tangan kanan.
Sebuah batu padas yang digosok licin menjadi tempat duduk. Di dekatnya ada peninggalan meriam kuno.
Batu Faulu (batu tanda menjadi raja).
Meja batu.
Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.
Omo Sebua merupakan rumah adat terbesar yang disangga oleh kurang lebih 60 tiang dan beberapa di antaranya merupakan tiang kayu bulat yang sangat besar. Batang-batang kayu raksasa itu konon didatangkan dari pulau Telo dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Nias dengan cara dihanyutkan ke laut. Kemudian ditarik dari darat ke atas bukit dengan kereta peluncur.
Ukiran kayu pada dinding Omo Sebua (Rumah Raja). Yang dinampakkan dalam ukiran ini ialah lambang kerajaan.
Saya sejenak mencicipi kursi raja.
Taring babi (yang disembelih waktu pesta-pesta) dijadikan dekorasi di dalam rumah.
Suasana di dalam Omo Bale (Balai Desa).
Suasana di dalam Omo Bale (Balai Desa).
Hari sudah senja, ketika kami meninggalkan desa Bawomataluo. Dan di kejauhan air Lautan Hindia kelihatan mengkilap ditimpa matahari senja.
Source :
Leo Sipahutar Ofmcap
0 komentar:
Posting Komentar